Solilokui

Cerah dalam Kabut

Ini mengingatkan kita pada psikolog Viktor Frankl,  yang lewat refleksi dirinya sebagai penyintas yang nyaris bunuh diri di kamp konsentrasi Nazi, mengajukan pandangan yang menggugah.  Bahwa pencapaian kebahagiaan tertinggi itu terengkuh bukanlah dalam keberhasilan, kesenangan dan kekuasaan, melainkan dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan segala pahit getirnya.

Oleh   : Yudi Latif

JERNIH–Saudaraku, pada setiap gumpalan awan hitam, selalu ada pendar cahaya keperakan. Dengan demikian, apapun tragedi yang dialami, jalan kehidupan yang dilalui tidaklah berarti menuju jalan buntu. Saat satu pintu tertutup, masih ada pintu lain yang terbuka. Tragedi memberi pelajaran hidup bersahaja: hidup dengan optimisme realistis– bukan optimisme buta; bukan pula pesimisme mati pengharapan.

Yudi Latif

Bahwa suka dan duka adalah pasangan “yin” dan “yang”; bagian dari misteri kehidupan yang harus diterima sebagai cara merayakan kehidupan. Bahwa ‘kairos’ Allah (Yang Abadi) pada akhirnya akan mengatasi yang ‘kronos’ (yang fana).

Tanpa kemampuan berdamai dengan tragedi dan misteri, kehidupan menjadi mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan. Tanpa kepasrahan (penerimaan pada absurdinas), orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

Pada akhirnya, kepasrahan dengan ikhtiar untuk keluar dari tragedi itulah yang menjadi jalan kebahagiaan. Hal ini mengingatkan kita pada psikolog Viktor Frankl,  yang lewat refleksi dirinya sebagai penyintas yang nyaris bunuh diri di kamp konsentrasi Nazi, mengajukan pandangan yang menggugah.  Bahwa pencapaian kebahagiaan tertinggi itu terengkuh bukanlah dalam keberhasilan, kesenangan dan kekuasaan, melainkan dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan segala pahit getirnya.

Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna hidup (the will to meaning), lewat kemampuan berdamai dengan kenyataan dan pengorbanan untuk menjadi lebih besar dari diri sendiri, merupakan sumber kebahagiaan tertinggi. [  ]

Back to top button