Solilokui

Penyimpangan Normalitas

Praktik politik di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti air dengan minyak. Kebajikan dasar republik seperti keadaban, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh.

Oleh     :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, istilah ‘normal’ sesungguhnya berasal dari kata dasar ‘norm’ (norma). Situasi normal artinya menggambarkan kondisi kelaziman keteraturan. Masalahnya, kelaziman keteraturan itu bisa terperangkap ke dalam normalitas yang keliru (a false sense of normalcy).

Dalam rutinitas hidup bisa jadi masyarakat cenderung membenarkan yang biasa ketimbang membiasakan yang benar. Korupsi dianggap kelaziman. Politik uang sebagai kewajaran. Nepotisme sebagai privilese. Pemilu mahal sebagai ketakterelakan. Kekuasaan (fasilitas) negara dipandang sebagai milik pribadi.

Yudi Latif

Selama pelayanan bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah; selama masih bisa membeli, mengapa harus memproduksi sendiri; selama bisa membeli produk asing, mengapa harus membeli produk dalam negeri.

Normalitas penyimpangan itu menguat seiring dengan merebaknya tujuh dosa sosial yang disebut Mohandas K. Gandhi: politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.

Kehidupan kota/negara (polis) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli  sebagai “kota korup” (citta corrottisima), atau yang disebut Al-Farabi sebagai “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah).

Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur.  Warga dan elit penguasa berlomba mengkhianati sesama dan negaranya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan. Hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.

Praktik politik di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti air dengan minyak. Kebajikan dasar republik seperti keadaban, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh.

Sebuah negeri dengan normalitas penyimpangan menisbikan tuntunan etis. Tanpa fundamen etis, komunitas politik kehilangan sandaran rasa saling percaya. Tanpa trust sebagai semen kohesi sosial, sebuah negara berada di tubir jurang. [ ]

Back to top button