Crispy

Bisnis Perdukunan di Korea: Pelanggannya Artis K-pop, Politisi, dan Pengusaha

  • Terdapat 400 ribu dukun di Korea Selatan. Tahun 2017, ada 50 ribu ritual perdukunan di sekujur metropolitan Seoul.
  • Ketika Korea Selatan berubah menjadi negara industri, perdukunan juga menjadi industri.

JERNIH — Jika ada yang mengatakan tidak ada praktek perdukunan di negara maju, atau ada yang berteori bahwa bangsa yang maju menggunakan pendekatan rasional dalam semua aspek kehidupan, sodorkan fakta menarik dari Korea Selatan (Korsel) yang disajikan situs Korea JoongAng Daily .

Mudang, kata dalam Bahasa Korea untuk menyebut dukun, adalah fenomena tak asing di Korea. Mudang dipercaya mampu berdialog dengan para dewa untuk mengubah nasib seseorang lewat ritual yang disebut gut.

Klien para mudang beragam, dari semua lapisan masyarakat, dan mencengangkan. Yoon Suk-yeol, presiden Korsel saat ini, disebut-sebut mencari mudang selama kampanye pemilihannya. Min Hee-jin, produser K-pop terkemuka dan mantan CEO ADOR, melibatkan mudang dalam keputusan manajemen.

Kim Keon-hee, ibu negara, menuduh beberapa politisi terkenal melakukan gut dalam panggilan telepon yang bocor.

Sulit menyebut jumlah pasti orang yang mengunjungi dukun dalam beberapa tahun terakhir, tapi ahli cerita rakyat Hong Tea-han menemukan 50 ribu gut yang diselenggarakan di wilayah metropolitan Seoul sepanjang 2017. Institut Kebudayaan dan Pariwisata Korea memperkirakan terdapat 400 ribu dukun sampai 2013.

Itu angka-angka enam dan 10 tahun lalu. Bagaimana saat ini? Korea JoongAng Daily menulis semakin banyak dukun muncul di media massa, kian banyak pula jumlah mereka. Permintaan yang terus berlanjut menjadikan praktik berusia ribuan tahun ini bagian tak terpisahkan masyarakat Korea.

Gut bukan sesuatu yang murah. Rata-rata gut di Seoul menghabiskan tujuh juta won, atau Rp 80,7 juta. Jika satu tahun terdapat 50 ribu gut, industri perdukunan di Korsel bernilai Rp 435 miliar. Jumlah ini dipastikan terus meningkat.

Dukun Korea di Era Industri

Di masa lalu, perdukunan adalah praktek kolektif. Artinya, dukun menyelenggarakan gut untuk memohon kerukunan dan kesehatan penduduk kota, atau melimpahkan tangkapan ikan dan keselamatan nelayan.

Kini, segalanya berubah. Seiring melejitnya Korea ke panggung ekonomi global, perdukunan juga jadi industri. Mudang menuntut persembahan lebih mahal dan memenuhi kebutuhan mereka yang mampu membeli.

Ada kapitalisasi dan komoditisasi perdukunan, yang lebih berfokus pada kemakmuran bisnis dan memprediksi volatilitas pasar. Konsultasi face to face menggantikan upacara di sekujur desa, ritual usus dipersingkat untuk mengakomodasi jadwal pebisnis yang semakin padat.

Dulu, basis pelanggan utama para dukun adalah perempuan. Tahun 1990-an, misalnya, ibu rumah tangga meminta dukun menyembuhkan penyakit atau menenangkan roh-roh yang gelisah karena mereka harus mengelola kedamaian rumah tangga.

Kim Jung-hee, salah satu dukun, mengatakan di masa lalu perempuan meminta dukun melakukan tiga ritual. Pertama, ritual untuk keluarga. Kedua, ritiual agar suami sukses dalam pekerjaan. Ketiga, ritual untuk memastikan leluhur mereka masuk surga.

“Kini, klien datang dan bertanya tentang karier mereka,” kata Kim. “Berikutnya, klien mengajukan pertanyaan apakah perceraian akan berakhir baik.”

Di masa lalu, banyak wanita meminta dukun melakukan ritual agar bisa berdamai dengan suami dan menyelamatkan rumah tangga. “Yang juga menarik adalah dulu klien para dukun adalah wanita paruh baya, sekarang remaja juga datang ke dukun,” ujar Kim.

Kemunculan praktek perdukunan di media, termasuk film laris Exhuma dan The Wailing, serta The Glory — serial Netflix yang dirilis 2022 — menginspirasi para dukun untuk bepraktek di media sosial. Muncul saluran YouTube pribadi para dukun.

Dukun Kwon Soo-jin mengatakan lewat media sosial para dukun menyebarkan daya tarik mistis-nya di kalangan anak muda. “Ada yang datang kepada saya hanya untuk sekedar ingin tahu, atau untuk aktivitas menyenangkan,” kata Kwon.

Terjadi peningkatkan klien para dukun sampai sepuluh kali lipat dibanding satu dekade lalu. Klien tidak melulu ibu rumah tangga atau wanita paruh baya, tapi generasi milenial yang bersikap santai dan hanya punya sedikit pertanyaan.

“Ada klien yang datang untuk sekedar mendengar sensasi kehidupan pribadi para dukun,” kata Kwon.

Seiring pertumbuhan ekonomi, dan ketika setiap orang Korea lebih suka berbisnis ketimbang bekerja, pelanggan utama para dukun adalah pengusaha dan pedagang. Pelanggan tak segan keluar banyak uang untuk gut.

Dalam kasus Min Hee-jin, pemain penting dalam industri K-pop, dukun mengendalikan perusahaan. Ketika Min Hee-jin terlibat kasus dan diseret ke pengadilan, dukun dipersalahkan. Namun, para dukun menolak tuduhan itu.

Bisnis Bebas Pajak

Jika ada industri di Korea yang bebas pajak, mungkin hanya perdukunan. Sebab, duku dibayar tunai, dan tidak ada UU yang mengharuskan mereka melaporkan neraca rugi-laba untuk dikenakan pajak. Itu terjadi sejak praktek perdukunan muncul sekian ribu tahun lalu.

Namun, dukun tak bisa lepas dari hukuman pidana. Lebih 1.000 hukuman dijatuhkan kepada para dukun sejak 2019. Penipuan adalah tuduhan yang paling umum, karena tidak ada yang bisa memastikan apakah dukun berakting atau benar-benar kerasukan roh dewa saat memberikan nasehat kepada klien.

Di luar tuntutan pidana, banyak kasus para dukun harus mengembalikan biaya gut kepada klien karena efek ritual yang dijanjikan tidak terjadi. Seorang dukun, kenang Kwon Soo-jin, mengembalikan setengah dari 70 juta won (Rp 807 juta) kepada klien setelah ritual yang dijalankan tidak berdampak apa pun.

Klien berhak menuntut pengembalian biaya gut jika ritual yang dijalankan tidak memberikan efek positif.

Pertanyaannya, mengapa mudang memasang tarif tinggi untuk gut yang diminta klien? Sebab, menjadi dukun tidak murah. Biaya rata-rata mengikuti pelatihan perdukunan antara 30 juta sampai 50 juta won, atau Rp 346 juta sampai Rp 576 juta, belum lagi menghadapi risiko kena tipu.

Dukun di Masyarakat Modern Korea

Suka atau tidak, duku adalah bagian dari masyarakat modern Korea. Jika tidak berdukun, orang Korea mendatangi peramal, ahli tarot, gwansang atau fisiogoni, untuk melihat peruntungan.

Survei Hankook Research menemukan lebih 40 persen responden mengaku berkonsultasi dengan peramal antara 2017 sampai 2022. Saju, empat pilar takdir tempat peramal, kerap didatangi masyarakat.

“Semua tempat saju akan memberi tahu Anda hal yang sama karena mereka meramal berdasarkan buku yang sama,” kata Kwon. “Mereka memberi tahu peruntungan Anda, tapi tidak pernah mengatakan kapan peruntungan itu datang.”

Jadi, jika mengacu ke masyarakat Barat, bagaimana perdukunan memainkan peran penting dalam kejauan ekonomi, teknologi, industri Korea Selatan. Tapi, demikianlah faktanya.

Back to top button