SolilokuiVeritas

Kemana Arah Reformasi Birokrasi Kita?

Struktur pemerintahan ‘gemuk’—48 pos kementerian dan 56 wakil menteri—yang dimiliki Indonesia saat ini, tampak jauh dari semangat reformasi birokrasi yang efisien. Jumlah menteri di era Presiden Prabowo sebanding dengan Nigeria (46 menteri) dan lebih besar dari China (26 menteri) serta AS (15 menteri). Struktur yang berkembang ini menjadi antitesis dari esensi reformasi birokrasi.

Oleh : Yuddy Chrisnandi *

JERNIH– Pada 14 Mei 1998, Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Sosial Politik ABRI, memimpin pertemuan para petinggi militer dan tokoh sipil reformasi di Mabes ABRI-Cilangkap. Namun, tekanan kuat dari rakyat untuk segera melakukan reformasi menyeluruh tidak terbendung. Komitmen militer untuk melakukan reformasi internal, mengubah peran TNI, dan berbagi peran politik dengan masyarakat sipil, tidak cukup untuk menghentikan gelombang gerakan mahasiswa yang didukung luas oleh rakyat dalam upaya menumbangkan Orde Baru.

Tanggal 21 Mei 1998 menjadi penanda runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, membuka jalan bagi era reformasi di bawah Presiden Habibie (1998-1999). Kepemimpinan pasca-Soeharto ini diteruskan oleh Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Joko Widodo (2014-2024), dan kini Presiden Prabowo Subianto (2024-2029). Reformasi menjadi antitesis Orde Baru, yang terjebak dalam lima masalah besar: krisis demokrasi, ketidakpastian hukum, maraknya KKN, dominasi dwifungsi ABRI, dan keterpurukan ekonomi.

Dalam seperempat abad lebih reformasi, tujuan perubahan yang diimpikan masih jauh dari pencapaian. Makna reformasi, sebagaimana yang tercermin dalam berbagai bacaan, adalah perubahan menyeluruh (bukan setengah hati) untuk membangun tatanan negara yang lebih demokratis, transparan, dan berorientasi pada kebutuhan rakyat.

Reformasi nasional mencakup empat sektor utama: ekonomi, politik, hukum, dan birokrasi. Keberhasilan reformasi ini bergantung pada sinergi di antara sektor-sektor tersebut. Reformasi ekonomi mengutamakan deregulasi untuk mendukung ekonomi kerakyatan, membuka peluang usaha yang adil, menciptakan lapangan pekerjaan, dan melindungi keberlanjutan ekonomi nasional. Reformasi politik harus memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Reformasi hukum menuntut netralitas regulasi dan keadilan yang tidak memihak. Reformasi birokrasi, sebagai tulang punggung reformasi, harus mencakup perubahan organisasi, peraturan, sumber daya manusia, pengawasan, akuntabilitas, dan budaya kerja yang melayani publik dengan prima.

Sejak 1998, reformasi birokrasi diarahkan untuk menciptakan birokrasi yang melayani rakyat, bebas KKN, dan profesional. Fokus reformasi ini meliputi perampingan struktur organisasi, pemadatan fungsi lembaga, profesionalisme aparatur, efisiensi anggaran, dan peningkatan produktivitas serta pelayanan publik. Birokrasi yang efisien dan profesional merupakan kunci keberhasilan pemerintahan, seperti yang diuraikan dalam “Why Nations Fail” oleh Prof. Daron Acemoglu dan James A. Robinson, yang menyebut bahwa reformasi birokrasi yang konsisten adalah prasyarat bagi good governance dan kesejahteraan nasional.

Namun, secara global, indeks pelayanan publik dan persepsi korupsi Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei, dan Malaysia. Public service index Indonesia menempati posisi ke-92 dari 175 negara, sementara indeks persepsi korupsi di posisi ke-115 dari 180 negara, jauh di bawah rata-rata global. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan sesuai harapan.

Saat ini, dengan struktur pemerintahan yang ‘gemuk’—48 pos kementerian dan 56 wakil menteri—Indonesia tampak jauh dari semangat reformasi birokrasi yang efisien. Jumlah menteri di era Presiden Prabowo sebanding dengan Nigeria (46 menteri) dan lebih besar dari China (26 menteri) serta AS (15 menteri). Struktur yang berkembang ini menjadi antitesis dari esensi reformasi birokrasi. Oleh karena itu, nomenklatur ‘Reformasi Birokrasi’ pada Kementerian PAN-RB sebaiknya ditinjau ulang, atau diganti menjadi ‘Pelayanan Publik,’ sesuai dengan tujuan utamanya: menyediakan pelayanan publik prima dan bebas korupsi.

Presiden Prabowo memiliki kesempatan untuk mengembalikan semangat reformasi nasional, dan kemungkinan besar akan merampingkan struktur kabinet jika hasilnya tidak sesuai harapan rakyat. Dengan pengawasan ketat terhadap setiap kementerian, pemerintah diharapkan mampu menghadirkan pemerintahan yang bersih dan melayani rakyat, sesuai dengan visi kepemimpinan sebagai pelayan rakyat yang disampaikan Presiden Prabowo dalam pidato perdananya. [ ]

*Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Nasional/Menteri PAN-RB 2014-2016

Back to top button