Nyatanya, arus besar penyelenggara negara kita tidaklah hidup untuk negara, melainkan hidup dari negara, yang membuat Indonesia tergelincir dari bangsa pelopor menjadi bangsa pengekor. Cinta atlet pada sesuatu di luar dirinya mengembangkan keagungan bangsa. Cinta politikus pada diri, keluarga dan konconya mengempiskan kebesaran bangsa.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, semalam tim sepakbola kita menang. Olah raga memperlihatkan karakter yang dibutuhkan untuk olah negara.
Dalam kobaran cinta tanah air, seperti dalam olah raga atas nama bangsa, jiwa amatir (Latin, “amateur” = kasih, compassionate) membuat atlet profesional ternama sekalipun siap bertarung demi negara. Kesiapan berkorban dan kesungguhan berjuang demi mengharumkan bangsa menjadikan atlet sejati sebagai pahlawan.
Sektor olah raga juga mencerminkan modernisasi bangsa. Suatu bangsa bisa saja memiliki olah raga populer andalan yang bisa tetap berkembang dalam segala cuaca. Namun, prestasi olah raga secara keseluruhan merefleksikan kondisi perkembangan politik dan ekonomi bangsa bersangkutan.
Bagi Indonesia, olah raga mengandung signifikansi nilainya tersendiri. Tatkala dunia politik mengalami kemarau kepahlawanan, dunia olah raga bisa melahirkan pahlawan alternatif untuk menumbuhkan harapan bangsa.
Masalahnya, meminjam ungkapan Brutus dalam drama William Shakespeare, “How many times shall Caesar bleed in sport?”; berapa banyak cucuran keringat, darah dan air mata yang ditumpahkan para atlet dalam olah raga agar dapat menularkan jiwa amatir ke dalam olah negara? Berapa banyak atlet sejati yang harus berlaga agar para aspiran politik menyadari pentingnya mengedepankan keseriusan berjuang ketimbang jalan pintas kemenangan?
Sungguh tragis, Indonesia sedang mengalami fase penjungkarbalikan nilai dalam olah negara. Harry Truman menyatakan, “Politik—politik luhur—adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan di mana manusia dapat menemukan peluang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik.”
Nyatanya, arus besar penyelenggara negara kita tidaklah hidup untuk negara, melainkan hidup dari negara, yang membuat Indonesia tergelincir dari bangsa pelopor menjadi bangsa pengekor.
Cinta atlet pada sesuatu di luar dirinya mengembangkan keagungan bangsa. Cinta politikus pada diri, keluarga dan konconya mengempiskan kebesaran bangsa.
Saatnya etos kejuangan para atlet dalam olah raga ditularkan menjadi etos para politikus dalam olah negara. Bahwa “kecintaan pada Tanah Air itulah yang membuat menang”; vincet amor patriae!” []