40 Tahun Perang Malvinas: Dari Obsesi Galtieri Sampai Pidato Retoris Diego Maradona
- Perang Malvinas, atau Perang Falklands, mengajarkan dunia bagaimana despot militer merebut hati rakyat.
- Diego Maradona menggunakan retorika keberanian tentara Argentina untuk mengalahkan Inggris.
JERNIH –– Hari ini, 40 tahun lalu, Perang Falklands atau Perang Malvinas berakhir. Tentara Argentina berjalan pelan dengan dua tangan atas, atau di belakang kepala, dan di belakangnya tentara Inggris mengawasi dengan moncong senjata siap tembak.
Situasi itu terjadi hanya empat bulan setelah Argentina merayakan pesta kemenangan dalam perempuran kecil melawan segelintir tentara Inggris untuk merebut Pulau Falklands. Di Argentina, rakyat yang tercekik kesulitan ekonomi, sejenak melupakan perut yang lapar dan memuji Jenderal Leopoldo Galtieri.
Kesulitan ekonomi yang menimbulkan kebodohan massal membuat rakyat Argentina lupa betapa mereka baru saja memulai perang, bukan memenangkannya. Rakyat membiarkan dirinya menjadi korban bohong tentang kemampuan tentara dan persenjataan Argentina. Kebohongan penguasa yang akhirnya menjadi bencana.
Falklands, Malvinas, dan Obsesi Galtieri
Perang Malvinas tidak dimulai saat tentara Argentia menginvasi pulau milik Inggris itu. Segalanya dimulai dengan kudeta militer 1976, dan pembentukan kediktatoran brutal yang mengawasi penurunan ekonomi dan penindasan para pembangkang.
Tahun 1981 Argentina diperintah Jenderal Leopoldo Galtieri, yang menurut sejarawan Rusia Evgeny Norin, seorang pemimpin tidak konsisten, terlalu berbakat, dan memutuskan sesuatu berdasarkan refleksi singkat, yaitu mendapatkan dukungan rakyat melalui kampanye militer yang sukses.
Sasaran ambisius Galiteri adalah pulau-pulau di Atlantik Selatan. Salah satunya sebuah pulau yang mereka sebut Malvinas. Pulau itu adalah milik Inggris sejak 1883, dan diberi nama Falklands.
Falklands dan pulau-pulau lain di Atlantik Selatan sejak lama menjadi wilayah sengketa, karena diklaim Kerajaan Spanyol dan Inggris. Argentina mewariskan sengketa atas pulau ini dari Kerajaan Spanyol, meski sejarah konflik relatif terlupakan pada 1980-an.
Galtieri mengekstrak sengketa teritorial ini dari catatan sejarah. Januari 1982, militer Argentina menyusun rencana invasi. Galtieri berharap merebut pulau-pulau itu dengan cepat dan tanpa pertumpahan darah dari kedua pihak serta warga sipil.
Saat itu militer Inggris dianggap anemia, karena anggaran dipotong selama bertahun-tahun. Singkatnya, Argentina mengandalkan kelemahan lawan.
Maret 1982, Argentina mengirim tentara yang menyamar sebagai pekerja ke Pulau Georgia Selatan, yang secara administratif berada di bawah gubernur Falklands tapi sangat jauh.
Georgia Selatan adalah sebidang tanah tak berpenghuni yang terkadang tak terlihat dengan teropong karena tertiup angin Antartika. Tentara Argentina mendarat di pulau itu dan mengibarkan bendera kebangsaan.
Pada 1 April 1982 sebuah detasemen komando Argentina, yang muncul dari kapal perusak Santisima Trinidad, menyambangi Port Stanley — ibu kota Falklands dan satu-satunya kota di pulau itu.
Rencananya, Argentina menyergap unit militer Inggris di kota itu. Namun, Inggris tahu rencana itu dan meninggalkan pos mereka. Argentina hanya mendapati barak-barak dan gedung kosong.
Pada saat sama pertempuran penuh berlangsung di kediaman gubernur Falklands. Argentina membawa kekuatan baru ke medan tempur.
Marinir Inggris melawan sampai kehabisan tenaga dan amunisi. Hasilnya, 58 tentara Inggris ditangkap. Nasib serupa juga dialami detasemen kecil Inggris di Georgia Selatan.
Argentina memenangkan fase pertama perang, Rakyat Argentina merayakannya, serdadu bersulang untuk sukses kecil, dan tak pernah berpikir bahwa mereka baru saja memulai perang, bukan memenangkannya.
Respon Margaret Thatcher
AL Inggris dalam posisi sulit. Pemangkasan anggotan menyebabkan mereka tidak lagi sering melakukan latihan yang diperlukan. Kondisi persenjataan juga dipertanyakan.
Namun, Inggris punya perdana menteri bernama Margaret Thatcher, yang tidak ragu menunjukan tekad. Ia menyerahkan segalanya kepada pasukan darat, laut, dan udara, untuk mewujudkan tekad itu.
Inggris mengirim armada yang kuat, termasuk dua kapal induk, delapan kapal perusak, dan sejumlah kapal lainnya. Sebuah kapal kontainer sipil diubah menjadi kapal induk. Brigade Marinir ke-3 menjadi tulang punggung pasukan darat.
Argentina juga tidak ragu ketika harus berperang. Mereka mengerahkan banyak unit tentara di Falklands. Namun, mereka melupakan satu hal; ketersediaan senjata.
Garnisun baru yang diterbangkan ke Malvinas hanya memiliki sedikit senjata. Sebagian besar pasukan Argentina yang dikerahkan adalah tentara cadangan kurang terlatih.
Lainnya, Malvinas berada di luar jangkauan terbang pesawat Argentina yang lepas landas dari daratan. Mereka tidak memiliki cukup bahan bakar untuk bertempur dan kembali ke pangkalan.
Langkah petama Inggris adalah kembali ke Georgia Selatan. Tanpa kesulitan Inggris merebut pulau itu kembali, karena pasukan Argentina di pulau itu mengibarkan bendera putih. Pasukan utama Inggris bersiap menyerang Falklands.
Awal pertempuran agak mengecewakan London. Inggris menyerang lapangan terbang dengan dua bom yang dibawa dua pesawat tempur. Salah satu pesawat kembali ke pangkalan karena malfungsi. Pesawat lain menjatuhkan bom tapi tak mengenai sasaran.
Sea Harrier, pesawat tempur berbasis kapal induk, bernasib lebih baik. Argentina mulai menderita kerugian. Pertempuran laut juga dimulai ketika Argentin secara bertahap menerjunkan pasukan mereka ke dalam konflik.
Inggris menembak jatuh beberapa pesawat Argentina, tapi secara kesleruhan tidak ada yang mengklaim kemenangan.
Pada 2 Mei, Argentina kehilangan kapal penjelajah ringan Jenderal Belgrano. Ini kapal buatan AS yang dibangun sebelum Perang Dunia II. Kapal dijual ke Argentina tahun 1951. Jadi, benar-benar kapal tua.
Sebelumnya, pada 30 April, kapal selam Inggris Conqueror secara tak sengaja menemukan kelompok AL Argentina. Inggris melihat peluang menguntungkan, dan memutuskan menyerang. Conqueror saat itu sedang menjalankan misi lain.
Kapal selam itu meluncurkan tiga torpedo. Dua di antaranya mengenai sasaran. Kapal perusak tidak berada di sekitar Jenderal Belgramo karena kehilangan kontak dalam kabut tebal.
Akibatnya, 323 pelaut Argentina tewas, dan 772 melarikan diri. Belgrano tenggelam ke dasar laut.
Komado Argentina secara psikologis mogok dan menarik kembali kapal mereka dari zona pertempuran. Pada 4 Mei, sebuah pesawat pengintai Argentina melihat kapal perusak Sheffield milik Inggris dan freegat Glasgow.
Argentina dengan cepat membuat keputusan, mengirim beberapa pesawa terbang ke kapal perusak. Pesawat-pesawat itu terbang sangat rendah dengan radar dimatikan untuk sebagian besar penerbangan.
Glasgow menghindari serangan, tapi Sheffield kurang beruntung. Rudal Exocet menghantamnya. Padahal, sistem pertahanan radioelektrik telah dimatikan, kecuali satu unit radar. Akibatnya, roket yang datang hanya bisa diketahui ketika terlihat dengan mata telanjang.
Semua yang berada di Shiffield terjun ke laut karena risiko amunisi meledak. Namun Shiffield masih mengapung selama sepekan, dan tenggelam pada 10 Mei di kedalaman 300 meter. Sebanyak 20 pelaut tewas.
Rencana Gila Inggris
Ada jeda beberapa waktu. Inggris bersiap memberi pukulan mematikan ke garnisun Argentina. Salah satunya, dan agak gila, mengirim penyabot ke daratan untuk menghancurkan stok rudal Argentina.
Pada 14 Mei dua helikopter dari kapal induk Hermes mendarat di Pulau Pebble, tempat pesawat serang Argentina berpangkalan. Helikopter menurunkan 45 pasukan komando SAS.
Mereka berjalan enam kilometer dan menyerang lapangan terbang, menghancurkan sebelas pesawat Argentina dengan peledak, mortir, dan senjata ringan. Setelah itu 45 pasukan SAS mundur ke titik evakuasi.
Anehnya, tidak ada yang terbunuh di kedua pihak dalam serangan sabotase paling brilian ini. Argentina berencana membalas, dengan mengirim empat penyabot ke Gibraltar untuk meledakan freegate Ariadne.
Sial, pasukan khusus ini ditahan polisi karena penjaga mengira mereka penjahat biasa yang siap beraksi. Penyabot malang Argentina itu pulang ke rumah.
Saat pasukan khusus beraksi, Inggris memilih titik pendaratan yaitu di teluk San Carlos, yang terletak di seberang Port Stanley. Pada 20 Mei, 19 kapal, tujuh di antaranya amfibi, mencapai San Carlos di bawah lindungan kabut tebal.
Serangan ini sangat lancar. Di sektor ini Argentina hanya punya pos pengamanan, dengan dua peleton bertugas tanpa perangkat komuniksai.
Penembakan mortir oleh pasukan Inggris tidak banyak berpengaruh. Pasukan Argentina menabrak dua helikopter Inggris sebelum melarikan diri.
Serangan itu adalah sukses Inggris dan bencana bagi Argentina. Sebab, pasukan utama Inggris kini beroperasi di pulau terpenting di kepulauan itu.
Di penghujung upaya bertahan, AU Argentina melakukan semua yang bisa dilakukan untuk membendung gelombang serangan Inggris. Mengorbankan 12 pesawat, mereka menabrak fregat Ardenta, tapi gagal menghancurkan fregat lain.
Pada serangan berikut, freegat Antelope dan kapal perusak Coventry — keduanya milik Inggris — tenggelam. AU Argentina memperbaiki reputasinya, tapi Inggris telah mendaratkan kontingen terkuat. Kehilangan itu tidak mengubah suasana perang.
Di Falklands, Inggris memulau pukulan dengan menyerang lapangan terbang Condor di selatan titik pendarataan, dengan dua resimen Argentina di sektiaranya. Namun serangan ini nyaris gagal akibat ulah reporter yang menyiarakan langsung persiapan.
Unggul persenjataan, Inggris menghabisi perlawanan pasukan Argentna dengan artileri angkatan laut dan darat. Setelah itu segalanya menjadi jelas betapa Argentina berhasil membangun kembali bunker beton di depat lapangan terbang.
Penemuan ini dramatis. Howitzer kehabisan amunisi. Inggris harus mengerahkan serangan jalan kaki, yang pada awalnya gagal.
Situasi berubah setelah Inggris menembakan rudal anti-tank ke lubang-lubang bunker. Setelah itu AU Inggris menyerang tentara Argentina yang kelelahan.
Inggris kehilangan 18 serdadu, Argentina 45 tewas dan 1.000 menyerah.
Pertempuran Tangan Kosong
Kini, Inggris leluasa menyerang Port Stanley. Namun, pilot Argentina Roberto Kurilovich menenggelamkan kapal angkut Atlantic Conveyor bersama helikopter yang diangkutnya. Akibatnya, pasukan Inggris harus berjalan kaki.
Argentina mencapai kesuksesan nyata dengan serangan udara yang menewaskan 56 tentara Inggris dan menghancurkan salah satu kapal pendarat.
Pilot Argentina memperlihatkan kualitas brilian dan trampil, tapi ibu dari segala perang adalah pertempuran darat. Pilot Argentina tidak bisa apa-apa ketika Inggris menguasai daratan.
Pada 11 Juni, rentetan tembakan howitzer, mortir, rudal anti-tank, dan artileri angkatan laut, menghujani semua posisi Argentina di Port Stanley. Dataran tinggi sekitar kota direbut lewat pertempuran brutal, termasuk pertempuran tangan kosong,
Sebenarnya ini adalah kudeta. Inggris menghancurkan peralatan dan senjata Argentina. Yang dimiliki Argentina hanya satu, yaitu keberanian. Itulah yang membuat mereka bertahan sampai 14 Juni.
Ketika ribuan tentara Argentina meletakan senjata, tidak ada alasan bagi Inggris untuk tidak menghormati keberanian lawannya.
Janderal Menendez, yang memimpin pasukan Argentina, dan bawahannya tidak punya alasan mencela diri. Mereka menyerah setelah perlawan tak lagi berguna.
Di Argentina, kabar tentang kekalahan itu hanya cerita di permukaan. Rakyat Argentina membayangkan kekalahan itu dengan kengerian dan kemarahan.
Ribuan tentara Argentina yang menjadi tawanan menunjukan apa yang sebenarnya terjadi.
Secara keseluruhan Inggris kehilangan 255 serdadu, tiga warga sipil, dua fregat, dua kapal perusak, satu kapal angkut, satu kapal pendarat, dan 34 pesawat terbang.
Argentina kehilangan 649 serdadu, setengahnya di kapal penjelajah Jenderal Belgrano, kapal penjelajah, kapal selam, empat kapan pengangkut, sekitar seratus pesawat dan helikopter. Sebanyak 11 ribu tentara ditawan.
Retorika Maradona
Junta militer pimpinan Jenderal Galtieri jatuh. Jenderal pensiunan itu ditangkap tahun 1983 karena komando tidak kompeten di Falksland. Meski pertempuran terhenti, sengketa kepemilikan atas pulau itu tak terselesaikan.
Ironisnya, kemenangan kegil Galtieri di awal perang menjadi kemenangan kecil Margaret ‘The Iron Lady’ Thatcher di akhir perang. Inggris mencatatnya sebagai kemenangan dalam konlfik besar.
Argentina tidak bisa melupakan kekalahan itu sampai sekian tahun ke depan. Tahun 1986, saat Argentina menghadapi Inggris di Piala Dunia Meksiko, kapten Diego Armando Maradona menggunakan retorika keberanian pasukan Argentina melawan Inggris saat berpidato di ruang ganti.
Pemain Argentina, termasuk pelatih Carlos Billardo, terdiam mendengarkan dengan seksama kata-kata Maradona. “Kita harus kembalikan martabat Argentina yang hilang di Malvinas,” katanya.
Billardo, pelatih Argentina kedua paling berpengaruh setelah Luis Cesar Menotti, memberi pengarahan kepada pemainnya untuk menghalalkan segala cara. Sejarah mencatat Argentina mengalahkan Inggris lewat cara paling kotroversial, yaitu gol tangan Tuhan Diego Maradona.