Crispy

Ada Risiko Politik Besar Jika Pemilu Ditunda

Terkait konvensi ketatanegaraan, Yuzril bilang sangat sulit diciptakan. Apalagi, masyarakat awam akan dengan mudah menganggap ada penyelewengan terhadap UUD 1945. Dan Presiden Jokowi, tidak dalam posisi bisa menciptakannya sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Muhammad Hatta di tahun 1945.

JERNIH-Pakar Hukum Tata negara, Yusril Ihza Mahendra berpendapat penundaan Pemilu 2024 yang dihembuskan oleh sejumlah elite politik hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara. Hanya saja, dia menilai kalau Presiden Jokowi tak akan mengambil jalan ini sebab resiko politiknya terlalu besar.

Langkah pertama yang harus ditempuh adalah, dengan mengamandemen UUD RI 1945. Kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai tindakan revolusioner. Dan ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dalam pelaksanaannya bisa diterima dalam praktek penyelenggaraan negara.

Ketiga cara ini menurut Yuzril, berkaitan dengan perubahan konstitusi yang dilakukan secara normal menurut prosedur dalam konstitusi itu sendiri.

“Atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku,” kata Yusril melalui keterangannya yang dikutip Minggu (27/2).

Dia juga bilang, dasar paling kuat untuk memberi legitimasi pada penundaan Pemilu dan konsekuensinya adalah memperpanjang sementara masa jabatan Presiden, Wapres, MPR, DPR, DPD, serta DPRD. Caranya, dengan melakukan perubahan ayau amandemen terhadap UUD 1945.

Prosedur perubahan konstitusi ini, sudah diatur dalam pasal 37 UUD 1945 pasal 24 sampai pasal 32 Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah dibuah dengan Undang-Undang nomor 13 tahun 2019, serta peraturan tata tertib MPR.

“Apa yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 1945 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum,” ujarnya.

Selain mengubah UUD 1945, Yusril mengatakan Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu. Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.

“Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu? Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu. Risiko politiknya terlalu besar,” kata Yuzril menjelaskan.

Sebab Presiden Jokowi sendiri, sudah menyampaikan tak ingin memegang jabatan tiga periode. Dari situ, Presiden tak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-cita reformasi.

Yuzril juga enggan masuk ke wilayah apakah yang dikatakan Presiden keluar dari hati nuraninya atau sekedar basa basi saja.

“Saya tidak tahu. Sebagai manusia, saya hanya memahami yang zahir, dalam makna, itulah kata-kata yang beliau ucapkan dan saya pahami. Sesuatu yang batin di balik yang zahir itu, semuanya berada di luar jangkauan saya untuk memastikannya,” katanya.

Terkait konvensi ketatanegaraan, Yuzril bilang sangat sulit diciptakan. Apalagi, masyarakat awam akan dengan mudah menganggap ada penyelewengan terhadap UUD 1945. Dan Presiden Jokowi, tidak dalam posisi bisa menciptakannya sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Muhammad Hatta di tahun 1945.[]

Back to top button