AS Cabut Visa Presiden Palestina dan 80 Pejabat Lain, Panggung PBB Panas

JERNIH – Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump kembali membuat keputusan kontroversial. Sebanyak 80 pejabat Otoritas Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas, secara mendadak dicabut visanya. Langkah ini semakin menegaskan keberpihakan Washington pada pemerintah Israel di tengah konflik yang mematikan di Gaza.
Seorang pejabat dari Departemen Luar Negeri AS mengumumkan bahwa Menteri Luar Negeri Marco Rubio mencabut visa para anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina (PA) menjelang Sidang Umum PBB.
“Pemerintahan Trump sudah jelas: demi kepentingan keamanan nasional kami, PLO dan PA harus bertanggung jawab karena tidak mematuhi komitmen mereka dan merusak prospek perdamaian,” demikian bunyi pernyataan Departemen Luar Negeri.
Menggunakan istilah kesukaan Trump, Departemen Luar Negeri menuduh Palestina melakukan “perang hukum” (lawfare) dengan membawa keluhan mereka terhadap Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ). Mereka juga mendesak Otoritas Palestina untuk menghentikan “upaya-upaya untuk mengamankan pengakuan sepihak atas negara Palestina.”
Sorotan PBB dan Peringatan Sejarah
Keputusan ini langsung memicu reaksi keras. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, di X, berterima kasih kepada pemerintahan Trump “atas langkah berani ini dan atas keberpihakan kepada Israel sekali lagi.”
Di sisi lain, Otoritas Palestina mendesak AS untuk membatalkan keputusan tersebut, yang disebutnya “bertentangan dengan hukum internasional dan Perjanjian Markas Besar PBB.”
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, menyayangkan keputusan ini. “Penting bagi semua negara dan pengamat untuk diwakili,” katanya, berharap masalah ini segera terselesaikan.
Secara historis, sebagai tuan rumah PBB, AS seharusnya tidak menolak visa bagi para pejabat yang datang untuk acara di bawah naungan PBB. Peristiwa serupa pernah terjadi pada tahun 1988, ketika AS menolak visa untuk pemimpin PLO saat itu, Yasser Arafat, yang memaksa Sidang Umum PBB harus dipindahkan ke Jenewa agar Arafat bisa berpidato.
Kini, dengan Mahmoud Abbas, pemimpin veteran berusia 89 tahun, yang rencananya akan menghadiri pertemuan PBB, keputusan AS ini tidak hanya mengancam partisipasi Palestina, tetapi juga mengirimkan pesan keras ke seluruh dunia tentang kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah.