Crispy

Bank Pelat Merah RI Masuk Daftar Laporan Transaksi Mencurigakan FinCEN

Sejumlah bank “mengizinkan” para kriminal melakukan transaksi keuangan kotornya, seperti memindahkan uang hasil korupsi, perdagangan narkoba, atau kejahatan lain ke bank mereka .

Jernih – Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia (BNI) disebut FinCEN Files, yakni laporan unit Jaringan Intelijen Penegakan Kejahatan Keuangan (The Financial Crimes Enforcement Network/FinCEN) Amerika Serikat (AS) yang bocor ke sejumlah media internasioal beberapa waktu lalu.

Laporan tersebut memuat data transaksi perbankan yang dianggap janggal. BBC, pada Senin (21/9/2020) melaporkan, ada 2.657 dokumen yang bocor. 2.100 di antaranya masuk kategori Laporan Aktivitas Mencurigakan (Suspicious Activity Report/SAR).

Dokumen itu memperlihatkan bagaimana sejumlah bank “mengizinkan” para kriminal melakukan transaksi keuangan kotornya, seperti memindahkan uang hasil korupsi, perdagangan narkoba, atau kejahatan lain ke bank mereka. Dalam data tersebut, jumlah uang dalam transaksi mencurigakan itu  mencapai US$2 triliun.

Kompas.com pada Selasa (22/9//2020), melaporkan, di antara deretan nama bank dan negara yang tercantum, beberapa dokumen menunjukan adanya dana mencurigakan yang mengalir baik masuk maupun keluar Indonesia melalui sejumlah bank di tanah air. Total dana tersebut sebesar US$504,65 juta atau sekitar Rp7,46 triliun.

Dari jumlah tersebut, sebanyak US$218,49 juta dilaporkan masuk ke Indonesia. Sementara US$286,16 juta mengalir keluar negeri. Laporan FinCEN menyebut dana ini bergulir dalam 496 transaksi dalam kurun waktu antara tahun 2013 hingga 3 Juli 2017.

Dana-dana yang keluar masuk Indonesia tersebut diproses melalui empat bank besar yang berbasis di AS. Mereka melaporkan aktivitas keuangan mencurigakan pada FinCEN. Keempat bank tersebut adalah The Bank of New York Mellon (312 transaksi), Standard Chartered Plc (116 transaksi), Deutsche Bank AS (49 transaksi), dan JPMorgan Chase & Co (19 transaksi).

Mengutip laman Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi (International Consortium of Investigation Journalists/ICJI) pada Selasa (22/9/2020), Kompas.com melaporkan sebanyak 19 bank di tanah air terekam FinCEN telah melakukan aktivitas keuangan mencurigakan.

Selain Bank Mandiri dan BNI, bank lain di Indonesia yang namanya termuat dalam laporan tersebut, yaitu Bank DBS Indonesia, Bank Windu Kentjana Internasional, Hong Kong Shanghai Banking Corp, Bank Central Asia (BCA), Bank CMIB Niaga, Panin Bank, Bank Nusantara Parahyangan, Bank of India Indonesia, OCBC NISP, dan Bank Commonwealth.

Selain itu terdapat pula nama Bank UOB Indonesia, Bank ICBC Indonesia, Chinatrust Indonesia, Standard Chartered, Bank International Indonesia, Bank Danamon, dan Citibank.

Menurut laporan tersebut, Bank Mandiri tercatat memiliki 111 aktivitas keuangan mencurigakan dengan US$250,39 juta uang masuk dan US$42,33 juta uang keluar. Sementara BNI memiliki dua transaksi mencurigakan dengan US$10,21 juta uang masuk dan US$428,052 juta uang keluar.

FinCEN merupakan lembaga pemerintah AS dibawah Departemen Keuangan AS (United State Department of Treasury/USDT). Lembaga ini bertugas mengumpulkan dan menganalisa data transaksi keuangan, baik domestik AS maupun internasional, demi keamanan nasional mereka.  

Di AS, USDT mewajibkan lembaga keuangan yang beroperasi di sana untuk mengajukan SAR ke FinCEN ketika lembaga tersebut mencurigai adanya atau diduga akan ada transaksi yang janggal di lembaga mereka. Jika mereka tidak melaporkan SAR, lembaga bersangkutan dapat dikenai sanksi.

FinCEN bertugas melindungi sistem keuangan di AS dari kegiatan-kegiatan illegal dan kejahatan finansial, termasuk pencucian uang, pendanaan teroris, dan bentuk kejahatan lainnya.

Kebocoran data ini bermula pada tahun 2019. Sebuah perusahaan media AS, BuzzFeed News,  mendapatkan dokumen catatan keuangan USDT. Mereka kemudian membagikannya ke ICJI. Selanjutnya, sebanyak 108 mitra media di 88 negara memperoleh dokumen rahasia tersebut.

Tercatat 400 jurnalis dari 88 negara menelusuri data tersebut selama lebih 16 bulan. Mereka melakukan wawancara dengan penyelidik dan korban serta meninjau data mengenai jutaan transaksi yang terjadi antara tahun 1999 sampai 2017. Demi laporan  yang komperhensif, mereka juga menuangkan catatan pengadilan dan arsip.

Hasilnya, tim ICIJ menemukan 17.600 catatan tambahan selama proses investigasi. Data tersebut ditautkan ke lembaga-lembaga keuangan melalui Undang-Undang Kebebasan Informasi.

Terkait kebocoran ini, pihak FinCEN menegaskan bahwa hal ini dapat berdampak pada keamanan nasional AS. Pihak pelapor SAR pun juga dikatakan terancam keselamatannya.

“Pengunkapan SAR yang tidak sah dapat mengganggu investigasi penegakan hukum yang sedang atau akan kami tegakan. Membocorkan dokumen memungkinkan pelaku criminal membuang bukti relevan dengan mengetahui adanya investigasi atau kemungkinan diinvestigasi,” kata Ketua Dewan FinCEN USDT, Jimmy Kirby.

Ia juga menambahkan, kebocoran data ini telah membuat saksi dan korban sama-sama berpotesi mengalami cidera fisik.

Back to top button