Belanda Minta Maaf atas Perbudakan Era Kolonial, Indonesia Nggak Dianggap
- Belanda tidak mengirim pejabatnya yang menyatakan permintaan maaf atas perbudakan era kolonial.
- Tidak pula ada tuntutan dari Indonesia akan permintaan maaf itu.
JERNIH — Hari ini, 19 Desember, Belanda secara resmi meminta maaf atas perbudakan 250 tahun era Kolonial.
PM Mark Rutte berpidato di Den Haag, menyebut peristiwa ini sebagai momen berarti. Saat yang sama sejumlah menteri melakukan perjalanan ke tujuh bekas koloni Belanda di Amerika Selatan dan Karibia, untuk menyampaikan pidato serupa.
Sigrid Kaag, menteri keuangan dan wakil PM Belanda, dalam kunjungan ke Suriname pekan lalu mengatakan sebuah proses akan dimulai menuju momen penting lainnya pada 1 Juli tahun depan.
Anak cucu budak Belanda merayakan 150 tahun pembebasan dari perbudakan dalam pesta yang disebut Keti Koti, kata dalam Bahasa Suriname yang artinya memutus rantai.
Rencana permintaan maaf ini adalah rahasia, tapi pers membocorkannya. Muncul kontroversi, sejumlah kelompok menyebut langkah PM Rutte terburu-buru dan kurang berkonsultasi.
Zaman Keemasan
Belanda mendanai ‘zaman keemasan’ kekaisaran dan budaya mereka sepanjang abad 16 dan 17, dan memperdagangkan 600 ribu orang Afrika di pasar budak Amerika Selatan dan Karibia.
Pada puncak kejayaannya, Propinsi Bersatu — kini dikenal sebagai Kerajaan Belanda — memiliki koloni di Suriname, Curacao di Karibia, Afrika Selatan dan Indonesia — pusat Perusahaan Hindia Timur (VOC) bermarkas pada abad ke-17.
VOC menjadi perusahaan besar dan kaya raya berkat perdagangan budak, bukan rempah-rempah seperti yang kita pelajari saat ini. VOC, dan seluruh karyawannya, berdagang budak secara brutal.
Di era modern, Belanda menghadapi kenyataan betapa kota-kota bersejarah mereka — dengan museum dipenuhi karya Rembrandt, Vermeer, dan Van Gogh — dibangun dengan darah, keringat, dan air mata budak.
Didorong gerakan Black Lives Matter di AS, muncul pertanyaan tentang rasisme di masyarakat Belanda. Tekanan semakin meningkat setelah kota-kota yang dibangun dari perdagangan budak; Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht, secara meminta maat atas perdagangan budak.
PM Rutte sekian lama menolak meminta maaf, dengan mengatakan periode perbudakan terlalu jauh ke belakang dan permintaan maaf akan memicu ketegangan di negara yang dikuasai politik sayap kanan.
Kini, PM Rutte mengubah sikap, tapi tidak menyenangkan semua orang.
Mereka yang Diperbudak
Silveria Jacobs, PM Sint Maarten, mengatakan tidak akan menerima permintaan maaf Belanda. “Biar saya perjelas bahwa kami tidak menerima permintaan maaf sampai komite penasehat membahasnya, dan kami sebagai negara membicarakannya,” katanya.
Franc Weerwind, menteri Belanda yang keturunan Suriname, dikirim ke Paramaribo — ibu kota Suriname. Kedatangannya diwarnai kritik keras, yang meminta Weerwind berkaca bahwa dirinya anak cucu budak.
Hari ini, sejumlah menteri kabinet Belanda juga berada wilayah-wilayah berpopulasi anak cucu budak; Sint Maarten, Suriname, Aruba, Curacao, Saba, St Eustatius, untuk membahas tanggapan kabinet dan signifikansi kehadiran mereka.
Menariknya, Indonesia tidak termasuk wilayah bisnis perbudakan era kolonial. Belum ada pula sejarawan Indonesia yang mengeluhkan soal ini, dan bagaimana Belanda mendefinisikan perbudakan.
Perbudakan secara resmi dihapus dari Suriname dan tanah-tanah lain yang dikuasai Belanda pada 1 Juli 1863, tapi prakteknya baru benar-benar berakhir tahun 1873. Fakta lain menunjukan praktek perbudakan berlangsung sampai era dekolonisasi.
Kelompok-kelompok yang memperingati perbudakan mengatakan permintaan maaf seharusnya dilakukan tahun 2023, tepat 150 tahun pembebasan para budak, bukan pada hari ini.