
Wafatnya sosok yang dijuluki sebagai “simbol gerakan demokrasi” ini memicu gelombang duka nasional. Pemerintah transisi Bangladesh langsung menetapkan tiga hari masa berkabung nasional.
JERNIH – Sebuah babak panjang dalam sejarah politik Bangladesh resmi tertutup. Khaleda Zia, perdana menteri perempuan pertama di negara tersebut sekaligus figur sentral yang mendominasi panggung kekuasaan selama tiga dekade, mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa (30/12/2025).
Pernyataan resmi dari Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) menyebutkan bahwa Sang ‘Ibu Bangsa’ berpulang setelah waktu salat Subuh, pukul 06.00 waktu setempat di Rumah Sakit Evercare, Dhaka. “Ketua BNP dan mantan Perdana Menteri, pemimpin nasional Begum Khaleda Zia, telah berpulang hari ini. Kami memohon doa bagi pengampunan jiwanya,” tulis pernyataan resmi partai, seperti dilansir AFP.
Pemimpin sementara Bangladesh, Muhammad Yunus, menyampaikan “kesedihan mendalam” atas kematian Khaleda dalam sebuah pernyataan di X. Ia menyebut perdana menteri yang menjabat tiga kali itu sebagai “simbol gerakan demokrasi” di Bangladesh dan mengatakan bahwa “bangsa telah kehilangan seorang pelindung yang hebat”.
“Saya sangat sedih dan berduka atas kematiannya,” tambahnya. Dalam siaran televisi kepada seluruh negeri, ia mengakui bahwa ini adalah waktu yang “sangat emosional” bagi negara dan menyerukan ketenangan.
“Dengan rendah hati saya memohon kepada semua orang untuk tetap menjaga disiplin dalam melaksanakan segala bentuk berkabung, termasuk doa pemakaman. Saya tahu Anda semua sangat emosional saat ini.”
Perdana Menteri India Narendra Modi dan pemimpin Pakistan Shehbaz Sharif juga menyampaikan belasungkawa mereka. Modi menyampaikan rasa duka cita yang mendalam dalam sebuah unggahan di X dan mengatakan bahwa “kontribusi penting Khaleda terhadap pembangunan Bangladesh, serta hubungan India-Bangladesh, akan selalu dikenang”.
Sharif menggambarkan Khaleda sebagai “sahabat setia Pakistan” dan mengatakan bahwa pemerintahnya dan rakyat Pakistan berdiri bersama Bangladesh “di saat duka ini”. “Pengabdiannya sepanjang hayat kepada Bangladesh serta pertumbuhan dan perkembangannya meninggalkan warisan yang abadi,” tambahnya.
Wafatnya sosok yang dijuluki sebagai “simbol gerakan demokrasi” ini memicu gelombang duka nasional. Pemerintah transisi Bangladesh langsung menetapkan tiga hari masa berkabung nasional. Jenazah sang pemimpin rencananya akan dimakamkan pada hari Rabu (31/12/2025) di samping makam suaminya, mendiang Presiden Ziaur Rahman, setelah melalui prosesi salat jenazah besar-besaran di depan gedung parlemen.
Dari Tragedi Menuju Takhta
Khaleda lahir pada 15 Agustus 1946 di Dinajpur, yang saat itu merupakan bagian dari Benggala Timur India, sekarang bagian utara Bangladesh. Ia menikah dengan seorang perwira militer bernama Rahman pada tahun 1960 ketika ia berusia sekitar 15 tahun. Rahman menjadi terkenal setelah perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971, kemudian menjabat sebagai presiden pada tahun 1977 dan mendirikan BNP pada tahun 1978.
Perjalanan politik Khaleda Zia sebenarnya tidak dimulai dari ambisi pribadi, melainkan dari sebuah tragedi berdarah. Ia terjun ke dunia politik setelah suaminya, Presiden Ziaur Rahman, tewas dalam upaya kudeta militer yang gagal pada tahun 1981.
Meski awalnya dianggap sebagai “anak bawang” di dunia politik, Khaleda membuktikan ketangguhannya dengan memimpin Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) dan menggulingkan diktator militer Hussain Muhammad Ershad pada 1990.
Kemenangan bersejarahnya pada pemilu 14 Februari 1991 mencatatkan sejarah sebagai perdana menteri perempuan pertama pada 1991 hingga 1996, mengikuti jejak Benazir Bhutto di Pakistan. Ia kembali memimpin pada periode 2001-2006. Di bawah kepemimpinannya, Bangladesh beralih dari sistem presidensial ke parlementer, serta melakukan reformasi besar-besaran di sektor pendidikan dasar dan investasi asing.
Sejarah Bangladesh tidak bisa dilepaskan dari istilah “Battling Begums”—perseteruan sengit antara Khaleda Zia dan rival abadinya, Sheikh Hasina. Rivalitas kedua wanita kuat ini mewarnai jatuh-bangunnya demokrasi di Bangladesh selama 30 tahun. Namun, roda nasib berputar kejam bagi Khaleda di masa kepemimpinan Hasina.
Pada 2018, Khaleda dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan korupsi dana yayasan yatim piatu—tuduhan yang ia sebut sebagai skenario politik untuk menyingkirkannya. Kesehatannya yang terus merosot akibat sirosis hati, diabetes, dan masalah jantung membuatnya dipindahkan menjadi tahanan rumah sejak 2020. Ia baru benar-benar menghirup udara bebas setelah Sheikh Hasina digulingkan oleh gelombang aksi mahasiswa tahun lalu.
Warisan yang Tak Tergantikan
Pemimpin interim Bangladesh, Muhammad Yunus, menyebut wafatnya Khaleda sebagai hilangnya “wali besar” bagi bangsa. Ucapan duka pun mengalir dari pemimpin dunia seperti PM India Narendra Modi dan PM Pakistan Shehbaz Sharif, yang mengenang kontribusi pentingnya bagi stabilitas kawasan Asia Selatan.
Meski meninggalkan warisan yang kontroversial karena gaya kepemimpinannya yang keras dan boikot-boikot politiknya, Khaleda Zia tetap menjadi sosok yang dicintai jutaan pendukungnya. Sebelum wafat, ia sempat menyatakan tekadnya untuk berkampanye pada pemilu Februari 2026 mendatang.
Kini, perjuangan politik BNP akan diteruskan oleh putranya, Tarique Rahman, yang baru saja kembali dari pengasingan panjang selama 17 tahun. Kepergian Khaleda Zia menandai fajar baru bagi Bangladesh, sebuah bangsa yang kini harus belajar melangkah tanpa kehadiran salah satu arsitek politik terbesarnya.






