CrispyVeritas

Catatan Hari Kopi Sedunia; Ada Paradoks di Sela Produksi Kopi Nasional

Di Hari Kopi Sedunia, kita diajak tak hanya untuk merayakan secangkir minuman kopi favorit, melainkan juga mengenang perjalanan panjang di baliknya. Ada paradoks di prosesnya.

JERNIH – Setiap 1 Oktober, dunia merayakan International Coffee Day. Bagi sebagian orang, hari itu hanya alasan untuk menyesap secangkir latte ekstra. Namun bagi Indonesia—salah satu raksasa kopi dunia—tanggal tersebut lebih dari sekadar ritual. Ia adalah panggung untuk meneguhkan identitas: negeri yang biji kopinya mengalir dari kebun rakyat di pegunungan hingga meja perundingan ekspor di Eropa.

Di balik aroma harum yang menenangkan, industri kopi Indonesia menyimpan kisah panjang: tentang kejayaan kolonial, perjuangan petani kecil, persaingan global yang sengit, hingga mimpi menembus pasar premium dunia.

Jarang ada negara yang secemerlang Indonesia dalam hal keanekaragaman kopi. Dari Gayo di Aceh, Toraja di Sulawesi, Kintamani di Bali, hingga Wamena di Papua, tiap daerah menawarkan karakter unik. Kopi robusta yang pahit-legam mendominasi, sementara arabika dari dataran tinggi menghadirkan keasaman segar dengan aroma buah atau cokelat.

Data 2023 mencatat, produksi kopi Indonesia mencapai 758 ribu ton dengan ekspor sekitar 279 ribu ton—hampir 40 persen dari total produksi. Meski luas kebunnya mencapai 1,29 juta hektar, mayoritas (96 persen) adalah kebun rakyat yang diolah petani kecil. Ironisnya, produktivitas kita masih tertinggal dibanding Vietnam atau Brasil. Rata-rata hanya sekitar 817 kg per hektar, sementara negara tetangga bisa empat hingga lima kali lipat lebih tinggi.

Di sinilah paradoks kopi Indonesia: kaya rasa, luas lahan melimpah, namun hasil per hektar belum optimal.

Kopi Indonesia punya paspor global. Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Italia, dan Belgia adalah beberapa penikmat setia. Nilai ekspor pada 2023 mencapai sekitar Rp 15,4 triliun.  Meski begitu, sebagian besar kopi yang dijual ke luar negeri masih berupa green bean—biji mentah tanpa nilai tambah.

Pasar dunia makin cerewet: konsumen Eropa menuntut sertifikasi organik, standar keberlanjutan, hingga transparansi asal kopi. Di sinilah tantangan terbesar: petani kecil yang tersebar di desa-desa sulit menjangkau standar ekspor yang rumit.

Namun justru tantangan ini memunculkan peluang. Kopi spesialitas Nusantara, yang dikurasi dengan cermat, mulai mencuri perhatian di lelang kopi internasional. Lot kecil dari Aceh atau Flores bisa terjual dengan harga premium, menyaingi kopi Amerika Latin.

Kopi adalah komoditas yang “demokratis”—bisa dinikmati siapa saja, di mana saja, dengan cara apa saja. Di warung pinggir jalan, secangkir kopi tubruk bisa ditebus dengan Rp 5.000. Di jaringan kedai modern seperti Janji Jiwa atau Tomoro Coffee, segelas iced coffee latte dibanderol Rp 20.000–30.000, menjangkau kelas menengah urban.

Sementara itu, kopi single origin dari roaster lokal bisa mencapai Rp 150.000 per 250 gram, tergantung proses dan reputasi daerah asal. Bahkan, kopi luwak—yang kontroversial itu—pernah dipasarkan hingga jutaan rupiah per kilogram, memosisikannya sebagai salah satu kopi termahal di dunia. Kopi, dengan demikian, bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol kelas, budaya, bahkan gaya hidup.

Di gerai-gerai retail modern ada banyak jenama. Beragam jenisnya, mulai kopi instan, bubuk, RTD / ready-to-drink, specialty, baik impor maupun lokal.

Untuk kategori kopi sachet/instan antara  20-50 jenama tergantung supermarket dan daerah. Ini termasuk brand nasional besar (seperti Kapal Api, Good Day, Indocafe, Torabika, Luwak White Koffie, ABC, TOP) dan brand lokal kecil atau kopi spesialitas kemasan bubuk yang baru muncul.

Sedang untuk kategori kopi bubuk / biji / specialty jumlahnya lebih kecil, tapi terus bertambah seiring tren kopi spesialitas meningkat, bisa puluhan juga jika memperhitungkan brand lokal plus impor. Jadi di gerai-gerai tersebut juga terjadi persaingan begitu banyak jenama.

Meski harum semerbak, kopi Indonesia masih menyimpan masalah. Kebun yang menua, serangan penyakit, perubahan iklim, hingga rantai pasok yang panjang membuat petani sulit menikmati harga yang adil.

Namun masa depan tetap menjanjikan. Program peremajaan kebun, distribusi bibit unggul, serta inovasi pascapanen mulai digencarkan. Gerakan hilirisasi mendorong kopi olahan lokal—roasted bean, kopi kapsul, ready-to-drink—agar Indonesia tak hanya jadi pemasok bahan mentah.

Di level konsumen, tren specialty coffee membuka ruang untuk kopi Nusantara tampil sebagai bintang. Setiap biji membawa cerita: tentang tanah tinggi yang subur, tentang petani yang menjemur biji di halaman rumah, tentang budaya gotong royong yang menyertai tiap panen.

Selamat menikmati Hari Kopi Sedunia, selamat menyeruput kopi hangat asli Indonesia.(*)

BACA JUGA: Kopi, Kopi, Kepalaku Pusing!

Back to top button