Crispy

Cerita Jerman Menangani Konservatisme Islam di Sekolah-sekolah

Upacara bela sungkawa untuk Paty  berupa keheningan selama satu menit di seluruh Eropa pada awal bulan ini menimbulkan ketidaksenangan di antara beberapa siswa Muslim. “Guru itu mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan,” adalah bisik-bisik yang lazim terdengar, menurut pemberitaan KNA.  “Dia pantas dieksekusi, karena menghina Nabi,” kata beberapa murid.

JERNIH– Bila di Prancis seorang guru–Samuel Paty, sampai kehilangan nyawa karena menjadikan karikatur Nabi Muhammad sebagai contoh dalam pelajarannya, bagaimana Jerman menangani persoalan seputar itu?

“Polisi Halal” kadang muncul saat ulang tahun dirayakan di ruang kelas di sekolah Jerman. Seperti diceritakan guru sekolah dasar di negara bagian Nord Rhein-Westfalen, disebagaimana dikutip kantor berita KNA, ada beberapa murid Muslim mengamati dari dekat apa yang dibawa teman sekelas mereka untuk perayaan ulang tahun itu. Apakah makanan yang dibawa itu halal dan boleh dimakan menurut aturan Islam.

Episode lainnya adalah tentang seorang anak laki-laki yang menegur teman sekelasnya karena mengenakan kaos bendera Amerika Serikat: “Ini musuh kita. Ini orang Yahudi!” Peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu. Dulu, kata guru tersebut, kasus-kasus seperti itu lebih merupakan kasus individual. “Namun kini, saya hampir tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.“

Pada pertengahan Oktober lalu, di Prancis, seorang guru bernama Samuel Paty dipenggal oleh seorang anak muda karena mendiskusikan kartun Nabi Muhammad SAW yang menjadi kontroversi di majalah satire “Charlie Hebdo“, di kelas kebebasan berekspresi.

Menurut laporan media, upacara bela sungkawa untuk Paty  berupa keheningan selama satu menit di seluruh Eropa pada awal bulan ini menimbulkan ketidaksenangan di antara beberapa siswa Muslim. “Guru itu mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan,” adalah bisik-bisik yang lazim terdengar, menurut pemberitaan KNA.  “Dia pantas dieksekusi, karena menghina Nabi,” kata beberapa murid.

Sekitar pada waktu bersamaan, Sekolah Dasar Christian Morgenstern di Berlin-Spandau menjadi berita utama. Seorang siswa di sana mengancam seorang guru perempuannya, ketika gurunya mengatakan jika orang tuanya yang kerap enggan menghadiri pertemuan tahunan orang tua murid dengan guru–tidak datang, maka orang tuanya akan mendapat sanksi.

Jika itu terjadi, kata anak berusia sebelas tahun tersebut, “Saya akan melakukan hal yang sama padamu seperti yang dilakukan anak laki-laki itu pada seorang guru di Paris.” Di Berlin, lima guru di sekolah lain melaporkan pengalaman serupa.

Yang terjadi di Prancis, bakal terjadi di Jerman?

Apakah yang terjadi di Prancis juga menjadi ancaman serupa di Jerman? Tidak, tulis Joachim Wagner di media “Welt am Sonntag“. Tetapi kata dia,”Islam Politik telah lama berkembang menjadi masalah pendidikan di bagian lanskap sekolah kami.”

Dalam bukunya “Die Macht der Moschee” (Kekuasaan Masjid), yang diterbitkan tahun lalu, penulis itu mengunjungi 21 sekolah dan berbicara dengan 70 orang guru. Salah satu hasil penelitiannya: “Jaringan orang tua, sekolah Alquran, komunitas masjid, imam dan asosiasi Muslim mencoba untuk melabuhkan sebanyak mungkin agama Islam, budaya dan tradisi dalam kehidupan sekolah di Jerman.”

Kasus-kasus yang ditemukan antara lain: ayah yang menolak berjabat tangan dengan guru atau melarang putrinya mengikuti pelajaran renang, festival olahraga, dan acara piknik sekolah yang ditunda karena bulan Puasa, perundungan terhadap siswa non-Muslim di taman bermain. Banyak guru di Kiel dan Passau yang mengetahui semua masalah ini, tetapi biasanya tidak membahasnya secara terbuka.

Asosiasi Guru Jerman menyebut masalah-masalah seperti itu merupakan topik yang sensitif. Banyak pendidik sering tidak yakin akan mendapat dukungan dari manajemen sekolah dan pemangku kebijakan. Para kepala sekolah mengkhawatirkan reputasi sekolah mereka, sementara Kementerian Kebudayaan seolah bertindak sesuai dengan moto: “Apa yang saya tidak tahu, saya tidak ambil pusing“, demikian kritik ketua federal Asosiasi Pendidikan dan Pendidikan, Udo Beckmann.

Konferensi Menteri Pendidikan memaparkan: “Ada orang-orang yang bertanggung jawab dalam Kementerian Pendidikan di semua negara bagian yang bekerja sama erat dengan polisi dan pengadilan dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan posisi Islamis dan ancaman serta tindakan kekerasan yang terkait di sekolah.”

Namun dalam praktiknya, banyak guru yang harus bergumul sendiri setiap harinya, sampai sejauh mana batas toleransi beragama dilampaui dan apa konsekuensinya. Bukankah desakan tersedianya makanan halal juga tak jauh berbeda dengan desakan atas kebutuhan makanan untuk anak-anak dari keluarga vegan? Apakah jilbab bagian dari identitas budaya siswa sekolah dasar berusia sembilan tahun atau dia memakainya karena paksaan? Jika ternyata anak perempuan itu dipaksa mengenakannya, apa yang harus dilakukan?

“Struktur penasihat untuk sekolah sangat perlu diperluas”, demikian tuntutan anggota dewan dari serikat pendidikan GEW, Ilka Hofmann. Bantuan praktis jelas tidak banyak tersedia.

Ketua asosiasi guru, Heinz-Peter Meidinger, menganjurkan pembentukan ombudsman, “yang dapat dihubungi secara rahasia oleh para guru kapan saja, bahkan di luar jalur resmi” – agar bisa dibantu dalam menangani masalah.

Pada saat yang bersamaan, Meidinger mengeluhkan kurangnya data yang valid untuk menangkap sejauh mana masalah tersebut. Oleh karena itu, dia menyerukan “survei anonim nasional bagi semua guru”.

Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah pandangan radikal di kalangan siswa? Para ahli merekomendasikan untuk diperluasnya pengajaran agama Islam di sekolah. Menurut penulis buku Wagner, sekitar 20 hingga 60 persen anak muda Muslim masih bersekolah di sekolah Alquran atas permintaan orang tua mereka, yang seringkali merupakan anggota arus Islam yang sangat konservatif.

Pada akhirnya, menurut pakar sekolah GEW Hoffmann, dibutuhkan “konsep yang lebih baik, berlabuh secara struktural dan berkelanjutan untuk mengintegrasikan kaum muda Muslim”. Islamisme sangat menarik bagi kaum muda “yang melihat sedikitnya prospek dalam masyarakat mayoritas”. [Deutsche Welle]

Back to top button