Dari Maret-September 2020 Timbunan Limbah Medis Indonesia Capai 1.663 Ton
Selama pandemi angka limbah medis plastik seperti masker dan APD mengalami peningkatan. LIPI menawarkan metode daur ulang yang unggul, mudah dan efektif
JERNIH– Terus bertambahnya kasus COVID-19 di Indonesia berimbas kepada semakin menumpuknya limbah medis sekali pakai, misalnya masker dan face shield yang dipakai oleh tenaga kesehatan maupun individu.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, pada rentang bulan Maret hingga September 2020, jumlah timbunan limbah medis termasuk masker dan APD (Alat Pelindung Diri) diperkirakan berjumlah 1.662,75 ton. Limbah medis dinilai memerlukan penanganan khusus untuk mencegah penyebaran penyakit dan pencemaran lingkungan.
Sekretaris Utama LIPI, Nur Tri Aries Suestiningtyas, menyampaikan bahwa saat ini LIPI telah memiliki teknologi yang dapat digunakan untuk pengelolaan limbah, sterilisasi, insinerator, dan daur ulang limbah medis yang jumlahnya semakin meningkat di masa pandemi COVID-19.
“Saya yakin ini semua diupayakan untuk percepatan inovasi teknologi pengolahan limbah medis masyarakat dan industri,” ujar Nur dalam webinar yang diselenggarakan LIPI bertajuk ‘Jangan Buang Maskermu!: Pengelolaan Limbah Masker di Masa Pandemi COVID-19‘.
Berapa lama virus dapat bertahan pada limbah medis?
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, Agus Haryono,menyampaikan bahwa berdasarkan hasil kajian LIPI menunjukkan adanya timbunan limbah medis di muara sungai Teluk Jakarta, seperti di Marunda dan Cilincing. Jumlah limbah medis yang ditemukan di Teluk Jakarta pun meningkat lima persen selama pandemi.
“Jumlahnya sekitar 15 sampai 16 persen dari sampah yang ada di Teluk Jakarta, di Cilincing dan Marunda tadi, sekitar 0,13 ton. Ini baru di Cilincing dan Marunda, belum di tempat lain,”ujar Agus.
Timbunan limbah medis berbahan plastik ini menimbulkan polemik, karena plastik membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk bisa terurai.
Sebelumnya, kepada DW, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung, mengatakan bahwa selain berdampak kepada lingkungan, limbah medis berbahan plastik yang belum didisinfeksi berisiko membantu penyebaran infeksi.
“Justru malah ketika dibuang jadi malah meningkatkan risiko dia menularkan penyakit, jadi medium, karena di plastik virusnya lebih lama bertahan,”ujar Sawung.
Senada dengan Sawung, peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Ratih Asmana Ningrum juga mengungkapkan bahwa virus SARS-CoV-2 dapat bertahan dalam waktu yang lama pada permukaan benda. Lamanya virus bertahan hidup tergantung kepada jenis material permukaan benda.
“Masker bedah di bagian dalam itu ternyata (bertahan) tujuh hari dan di bagian luarnya ternyata lebih dari tujuh hari stabilitas virusnya. Setelah tujuh hari dia masih aktif,”ujar Ratih.
“Sementara kalau stabilitas alat pelindung diri itu ternyata jauh lebih tinggi. Masker N95 bisa sampai 21 hari,” lanjutnya.
Virus SARS-CoV-2 yang menempel pada masker dan APD yang lain, menurut Ratih, bisa diinaktivasi melalui beberapa proses sederhana, antara lain memanaskan masker atau APD pada suhu 70 derajat Celsius selama lima menit atau merendamnya dalam larutan disinfektan selama lima menit. “Misalkan cairan pemutih di rumah tangga bisa digunakan.”
Daur ulang dengan metode rekristalisasi
Adapun LIPI sepanjang tahun 2020 mengembangkan metode daur ulang limbah medis plastik yang mudah dan efektif, yakni dengan metode bernama rekristalisasi. Metode rekristalisasi dapat diterapkan untuk berbagai jenis plastik bahan baku APD seperti polipropilena, polietilena, polistirena, maupun polivinil klorida.
Kepada DW, peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI Sunit Hendrana mengatakan bahwa metode ini memiliki sejumlah keunggulan, salah satunya memungkinkan terjadinya degradasi yang sangat rendah karena tidak adanya shear dan stress seperti pada daur ulang biasa.
“Sangat mungkin diperoleh suatu plastik murni tanpa degradasi yang dapat digunakan lagi sebagai plastik untuk tujuan medis dengan kualitas yang serupa,”ujar Sunit.
Sunit menjelaskan keunggulan lainnya adalah bahwa metode ini mengonsumsi energi yang lebih rendah karena “mekanisnya jauh lebih sedikit dari metode yang lain.”
Lebih lanjut, proses sterilisasi dalam metode ini dapat dilakukan secara in-situ dalam rangkaian proses daur ulang.
Tahapan-tahapan metode rekristalisasi ini meliputi pemotongan plastik bila diperlukan, pelarutan plastik, pencampuran dengan antipelarut, pengendapan, dan pemisahan pelarut dan antipelarut.
“Prinsip dasar dari metode ini adalah sifat kelarutan, bahwa plastik itu larut dalam pelarut tertentu. Ini yang bisa kita manipulasi sehingga bisa mengkristal dalam bentuk larutan dan dijadikan serbuk,” kata peneliti dari kelompok penelitian kimia makromolekular ini.
Sunit pun berharap metode rekristalisasi dapat diterapkan dan berguna dalam menyelesaikan masalah sampah medis akibat pandemi yang tengah terjadi.
“LIPI dengan ini menawarkan metode yang semoga bisa dikaji dan kemudian bisa dijadikan alternatif untuk menjadi solusi dari penangan sampah medis plastik yang tidak menimbulkan masalah lain di kemudian hari,”ujar dia. [Deutsche Welle]