Crispy

Di Jerman Ada Museum Yang Mengeksplorasi Keserakahan Manusia

Stern saat itu tidak sadar bahwa akibat serakah akan berita utama yang sensasional, majalah telah termakan penipuan karena sebanyak 62 ‘buku harian Hitler’ yang mereka beli tenyata terbukti palsu.

JERNIH—Loba, tamak, serakah, greedy, sejatinya meliputi banyak hal. Dari hal klasik seperti haus akan harta, takhta dan ‘wanita’, hingga ke mengoleksi sepatu tanpa pernah ada kesempatan memakainya. Di era kekinian, ketidakpuasan untuk terus mengoleksi jumlah like dan followers tampaknya menjadi bagian dari rakus. Di Jerman, ada museum yang mengulik dampaknya.

Berbagai kamus bahasa Inggris menggambarkan sifat serakah sebagai keinginan yang sangat kuat untuk dapat sesuatu lebih banyak lagi, khususnya soal makanan atau uang. Ada pula yang menyebut sifat ini sebagai sebuah keinginan berlebihan atas kekayaan atau harta benda, lebih daripada yang dibutuhkan.

Koleksi sepatu kets yang tak pernah dipakai, termasuk salah satu yang dipamerkan

Gereja Katolik bahkan menganggap keserakahan sebagai salah satu dari tujuh dosa pokok. Tetapi dalam masyarakat saat ini, keserakahan justru sering dianggap sebagai sebuah dosa yang diperlukan.

Keinginan yang tidak terpuaskan untuk bisa punya lebih banyak uang, kekayaan, dan materi mungkin terlihat tidak menyenangkan. Akan tetapi keserakahan juga telah menjadi motor bagi dinamika ekonomi pasar. Orang-orang rakus akan pengetahuan, perkembangan dan kesuksesan. Bahkan, tamak akan cinta, pengakuan, dan persahabatan.

Amoral atau sah-sah saja?

“Memang, keserakahan adalah topik yang sangat ambivalen,”ujar Paula Lutum-Lenger, direktur museum Haus der Geschichte Baden-Württemberg (Rumah Sejarah Baden-Württemberg) di Stuttgart. Karenanya, museum tersebut memilih subjek ini untuk pertunjukan pertama dalam trilogi pameran mereka tentang keserakahan, kebencian, dan cinta.

Pameran pertama menampilkan 31 cerita yang berfokus pada fenomena keserakahan. Ada sekitar 300 objek yang dipamerkan termasuk dokumen, objek, foto, dan video, yang berasal dari lebih dari tiga abad, dari zaman kolonial Jerman hingga saat ini. Semuanya itu juga ada yang masih berhubungan dengan sejarah negara bagian Baden-Württemberg di Jerman barat daya, tempat museum itu berada.

Masyarakat dicekoki ambisi berlebihan

Bagi direktur museum, kisah yang dengan sempurna mencontohkan ambivalensi penggunaan pengetahuan dengan motif keserakahan dapat dilihat dalam kasus Fritz Haber. “Penggunaan penelitiannya untuk tujuan sipil dan militer menunjukkan ambivalensi dari keingintahuannya yang tak terbatas,” kata Lutum-Lenger kepada DW.

Di tahun 1918, Haber memenangkan Hadiah Nobel Kimia karena mengembangkan metode sintesis amonia, yang memungkinkan produksi pupuk berskala besar dan menjamin produksi pangan bagi sebagian besar populasi dunia. Tapi di sisi lain, selama Perang Dunia I Haber juga mengembangkan gas beracun “dan secara pribadi mengawasi penggunaan senjata pemusnah massal ini di garis depan,” kata direktur museum itu.

Salah satu bagian pameran tersebut menunjukkan bagaimana keserakahan telah mendorong kaum bangsawan di Jerman pada awal abad ke-19 untuk berasosiasi dengan gereja yang kaya. Sedangkan bagian lain berfokus pada periode ketika Kekaisaran Jerman masih menjalani kolonialisme di Kamerun dari tahun 1884-1919.

Saat itu, seorang letnan satu bernama Richard Hirtler menggunakan penempatannya di negara itu untuk membangun koleksi seni dan kerajinan untuk dirinya sendiri. Koleksinya termasuk sebuah bangku yang disebut Takhta Garega yang ikut dipamerkan di pameran di Stuttgart.

Pameran tersebut juga membahas pencurian properti milik Yahudi di bawah rezim Nazi. Kebencian, antisemitisme, deportasi, dan pemusnahan populasi Yahudi juga terkait dengan keserakahan nasionalis Jerman, seperti yang ditunjukkan oleh direktur museum ini.

Shop until you drop

Kembali ke masa kini, keserakahan telah mewujud dalam wajah konsumerisme yang ekstrem. “Gila Belanja” bukan hanya sebuah ungkapan kosong, tetapi telah menjadi gaya hidup bagi sebagian orang yang sepertinya tidak pernah puas berbelanja.

Dalam segmen yang disebut Buying Frenzy, pameran tersebut menggambarkan beberapa ekses belanja saat ini: bagaimana orang akan berbondong ke outlet untuk berbelanja produk mewah, membeli T-shirt yang kesekian, dan membayar mahal untuk sepatu kets koleksi yang tidak akan pernah mereka pakai.

Sementara itu, seperti yang diuraikan segmen lain, para influencer atau pemengaruh di media sosial rakus akan sesuatu yang jauh lebih tidak nyata: mereka rakus like dan pengikut.

Pameran tersebut juga menunjukkan bagaimana keserakahan dapat menentukan proses produksi. Untuk meningkatkan keuntungan, bisnis akan berusaha mengurangi biaya produksi dengan segala cara.

Salah satunya digambarkan dalam pameran itu lewat patung sapi berukuran kecil. Patung ini mengacu pada fakta bahwa tahun 2015 Uni Eropa mencabut kuota susu yang menyebabkan para peternak sapi perah mengantongi lebih sedikit keuntungan dari tiap kilo susu yang dihasilkan.

Pameran ini juga menjelaskan bagaimana industri susu telah berubah dalam berabad belakangan. Saat ini industri bisa memproduksi susu dengan sangat tinggi melalui berbagai metode yang dipertanyakan. Menurut museum, seekor sapi pada tahun 1800 akan menghasilkan sekitar 1.000 kilo susu per tahun. Lantas di tahun 2020 seekor sapi bisa menghasilkan hingga 10.000 kilogram susu per tahun.

Haus perhatian?

Pada 28 April 1983, majalah Stern di Jerman menyatakan bahwa “sejarah Third Reich sebagian harus ditulis ulang.” Majalah itu mengira bahwa mereka telah menerbitkan berita besar dengan mengungkapkan bahwa buku harian Hitler baru saja ditemukan.

Stern saat itu tidak sadar bahwa akibat serakah akan berita utama yang sensasional, majalah telah termakan penipuan karena sebanyak 62 ‘buku harian Hitler’ yang mereka beli tenyata terbukti palsu.

Dalam dunia olahraga, ambisi menjadi kata lain dari keserakahan untuk jadi pemenang, untuk jadi yang terbaik. Pada kenyataannya, ini telah menjadi semacam kebajikan. Pelatih sepak bola Jerman, Jürgen Klopp, menjadikan “keserakahan” sebagai kunci menuju sukses.

Namun sampai mana ambisi mau dikejar? Ambisi berlebihan dapat menyebabkan ekses yang mengancam ekosistem kita. Objek pameran berupa kepala boneka badak tanpa tanduk yang ditembak oleh para pemburu piala bergilir pada tahun 1920-an mengingatkan kita akan hal ini.

Pada saat itu, pemburu hewan besar berjuang untuk bisa memburu “Lima Besar” yakni singa, macan tutul, badak, gajah, dan kerbau Cape. Pameran itu juga menunjukkan keserakahan akan uang, karena pencuri memotong tanduk hewan untuk dijual demi keuntungan besar ke negara-negara Asia, di mana cula badak digunakan dalam pengobatan tradisional – atau untuk dijadikan hadiah super mewah.

Keserakahan, kebencian, dan cinta adalah “kekuatan yang menggerakkan manusia, emosi utama dalam sejarah dan masyarakat saat ini,” kata direktur museum Lutum-Lenger, itulah sebabnya topik ini akan menjadi fokus pertunjukan dalam trilogi yang telah direncanakan.

“Keserakahan”, adalah bagian pertama dari trilogi pameran di Museum Haus der Geschichte Baden-Württemberg di Stuttgart dan berlangsung hingga 19 September 2021. Program ini mencakup acara online.

Bagian kedua yakni “Benci” dijadwalkan akan dipamerkan dimulai pada 17 Desember 2021 – bergantung pada perkembangan krisis virus corona, dan “Cinta” akan menyelesaikan trilogi ini pada musim panas 2022. [Deutsche Welle]

Back to top button