
Kegiatan lintas iman semacam ini bukan hanya tentang mengenal agama lain, melainkan tentang mengenali kembali kemanusiaan kita sendiri. Seperti kata filsuf Martin Buber, “Semua kehidupan sejati adalah pertemuan.” Pertemuan antara Gusdurian dan umat Katolik di Gereja Mater Dei bukan sekadar formalitas sosial, melainkan perjumpaan eksistensial yang mengingatkan kita bahwa Tuhan hadir di ruang dialog, bukan di benteng keyakinan yang tertutup.
Oleh : Fileski Walidha Tanjung
JERNIH–Ada sesuatu yang menenangkan dari hujan yang turun di Jalan Slamet Riyadi, Madiun, pada Ahad sore, 19 Oktober lalu. Hujan itu seperti simbol: membersihkan, menyejukkan, dan menyatukan setiap langkah manusia yang sedang belajar mengenal Tuhan lewat wajah sesamanya.
Di bawah langit Madiun yang perlahan meredup, komunitas Gusdurian Madiun mengadakan kegiatan walking tour di Gereja Katolik Mater Dei. Kegiatan ini sederhana — sekadar silaturahmi lintas iman — tetapi sesungguhnya merupakan peristiwa kultural yang sarat makna teologis, sosial, dan kemanusiaan.
Dalam suasana penuh kehangatan, kami disambut Pak Daud Cahyono yang memperkenalkan seluruh keluarga besar gereja Mater Dei: Romo Tedi yang bijaksana, Pak Sigit yang aktif di bidang kerasulan umum, Bu Agnes Adhani dari seksi hak, Pak Masi sang pendidik, Pak Tri sang penjaga keamanan gereja, Pak Okta dari bidang IT, serta Pak dan Bu Apung, pasangan yang juga menjadi jembatan antara Gusdurian dan umat Katolik.
Di sisi lain, perkenalan dari pihak Gusdurian dipandu oleh koordinator kami, Mas Haris Saputra, bersama Pak Titus Tri Wibowo, Mas Septian, Pandu Bittama, Faiz Sulthon, Yoga, Yusuf, dan saya sendiri. Dalam kesempatan itu, saya membacakan tiga puisi — tentang kopi, mangga, dan doa di perempatan — tiga simbol sederhana yang mencoba berbicara tentang cinta, kebersamaan, dan humor lintas iman.
Kegiatan lintas iman semacam ini bukan hanya tentang mengenal agama lain, melainkan tentang mengenali kembali kemanusiaan kita sendiri. Seperti kata filsuf Martin Buber, “Semua kehidupan sejati adalah pertemuan.” Pertemuan antara Gusdurian dan umat Katolik di Gereja Mater Dei bukan sekadar formalitas sosial, melainkan perjumpaan eksistensial yang mengingatkan kita bahwa Tuhan hadir di ruang dialog, bukan di benteng keyakinan yang tertutup.
Ketika Romo Tedi mengajak kami berkeliling gereja, menjelaskan makna benda-benda liturgi dan kisah di baliknya, saya menyadari bahwa spiritualitas tidak lahir dari dogma, melainkan dari cara manusia memaknai simbol. Salah satu momen yang membekas adalah ketika Romo Tedi berkata bahwa jika suatu saat ia dipindah tugaskan, ia akan meninggalkan rumahnya tanpa membawa apapun, kecuali pakaian yang ia kenakan. Dalam kalimat itu, saya mendengar gema dari filsafat sufistik: “Zuhud bukan berarti tak memiliki, melainkan tak dimiliki.”
Ada kesamaan diam-diam antara ajaran Yesus, Buddha, dan para wali sufi: semua mengajarkan pelepasan diri dari ego. Dalam pertemuan lintas iman itu, ego-ego keagamaan perlahan meleleh di bawah naungan percakapan dan tawa bersama. Ketika hujan mulai turun dan kami menyantap nasi pecel khas Madiun, saya merasa bahwa dialog lintas iman yang paling tulus justru lahir di meja makan, di tengah aroma sambal pecel dan gelak tawa yang menghangatkan malam.
Mas Haris Saputra, sebagai koordinator Gusdurian Madiun, mengatakan dengan nada reflektif, “Kegiatan ini adalah latihan menjadi manusia sebelum menjadi pemeluk agama.” Sebuah pernyataan yang sederhana namun mengguncang akar kesadaran. Sementara Pak Titus Tri Wibowo menambahkan, “Dialog lintas iman bukan tentang siapa benar dan siapa salah, tapi tentang siapa yang berani mendengarkan.”
Saya sendiri merasa bahwa sore itu, di tengah suara hujan yang perlahan reda, kami semua sedang menjemput Tuhan — bukan lewat doa panjang, melainkan lewat keberanian untuk hadir dan saling menyapa.
Dalam konteks sosial-politik hari ini, kegiatan semacam ini menjadi bentuk perlawanan kultural terhadap intoleransi yang kian banal. Ketika ruang publik sering dibanjiri ujaran kebencian dan narasi pemisahan, pertemuan lintas iman di Gereja Mater Dei justru menjadi ruang penyembuhan. Ia mengajarkan bahwa harmoni bukan utopia, melainkan hasil kerja bersama yang dilandasi oleh rasa ingin tahu, empati, dan humor keakraban.
Puisi yang saya bacakan sore itu lahir dari pengalaman hidup lintas ruang iman. “Ngopi di Bawah Langit yang Sama” berbicara tentang pertemuan yang membebaskan. “Dialog di Bawah Pohon Mangga” menggambarkan teologi alam yang adil tanpa diskriminasi. Dan “Doa di Persimpangan” menertawakan keseriusan manusia di tengah absurditas kehidupan modern. Ketiga puisi itu, saya sadari kemudian, menjadi semacam refleksi atas keyakinan bahwa iman sejati tak bisa dibangun di atas ketakutan, melainkan di atas tawa dan kasih.
Friedrich Nietzsche pernah menulis, “Faith: not wanting to know what is true.” Tapi barangkali Nietzsche keliru bila iman dipahami sebagai ketertutupan terhadap kebenaran lain. Iman justru menjadi kuat ketika ia terbuka. Ketika ia berani menatap wajah lain, tanpa takut kehilangan dirinya. Sebagaimana Gus Dur pernah mengajarkan, “Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu dibela adalah manusia yang dilemahkan atas nama Tuhan.”
Dari kegiatan walking tour ini, saya belajar bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan jalan pulang bagi kemanusiaan kita yang tercerai-berai. Bahwa mengenal umat lain tidak akan membuat iman kita hilang, tetapi justru memperdalamnya. Karena di tengah dialog lintas iman, setiap orang sedang belajar untuk percaya — bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada sesama manusia.
Ketika hujan reda dan langkah-langkah kami berpamitan, ada getar lembut yang tertinggal di hati saya. Bukan karena megahnya arsitektur gereja atau hangatnya sambutan tuan rumah, tetapi karena saya menyaksikan bagaimana iman bisa menjelma menjadi kasih yang konkret. Dalam perjamuan sederhana, di bawah langit yang sama, kami menegaskan kembali bahwa agama bukan sekadar sistem keyakinan, melainkan ruang bagi cinta yang menembus sekat-sekat simbol.
Mungkin, inilah yang sebenarnya kita cari di sepanjang perjalanan spiritual kita: bukan kebenaran mutlak, tapi pertemuan yang memanusiakan.
Di tengah renungan itu, saya teringat satu pertanyaan yang menutup seluruh perjalanan sore itu: Jika Tuhan menciptakan kita berbeda agar saling mengenal, mengapa kita terus berusaha menyeragamkan surga kita?
Sebuah pertanyaan yang barangkali tak butuh jawaban, tetapi cukup untuk menuntun kita kembali kepada hakikat: bahwa di bawah langit yang sama, kita semua sedang menempuh jalan pulang yang berbeda, menuju kasih yang satu. [ ]






