CrispyVeritas

Dr. Tan Shot Yen: Membongkar Mitos Gizi, Menyuarakan Pengetahuan

Lewat gayanya yang ceplas-ceplos dengan akses Jawa nan kental, perempuan ini membuka pikiran para wakil rakyat. Videonya yang memviral, menambah pemahaman masyarakat tentang bagaimana sebaiknya pelaksanaan program MBG.

JERNIH – Di tengah hingar-bingar wacana kesehatan publik, nama Dr. Tan Shot Yen kerap hadir sebagai suara yang jernih, kritis, dan tak jarang mengguncang kenyamanan status quo. Ia bukan sekadar seorang dokter. Ia seorang pengembara ilmu, seorang penulis, seorang pengingat, yang berupaya menuntun masyarakat agar kembali menemukan jalan sehat lewat makanan, tubuh, dan kesadaran.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR RI, Senin, 22 September 2025, Dr. Tan muncul di podium dengan nada yang penuh amarah sekaligus kepedulian. Ia menolak menu “hamburger dan spageti” yang termasuk ultra-processed food (UPF) yang dijadikan bagian program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurutnya, tepung terigu yang menjadi bahan utama burger bukanlah bahan pangan asli negeri ini — bahan yang tidak tumbuh di tanah Indonesia. Ia bahkan mempertanyakan, “Tidak ada anak muda yang tahu bahwa gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia.”

Dalam kata-kata itu, kita bisa menangkap kegelisahan seorang profesional yang sadar bahwa diet anak bangsa tak boleh dibentuk oleh tren global atau kecepatan produksi industri, melainkan oleh akar pangan lokal, budaya, dan kesehatan sejati.

Lahir di Beijing pada 17 September 1964, lalu tumbuh besar di Jakarta, Tan Shot Yen menyulam perjalanan hidupnya di persimpangan budaya, ilmu, dan spiritualitas. Ia memulai langkah akademiknya di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, lalu melanjutkan profesi dokter di Universitas Indonesia.

Namun, baginya ilmu kedokteran tidak berhenti di ruang klinik atau di balik stetoskop. Ia menjejak ke berbagai negara: Australia, Thailand, Jepang, menyerap pelajaran tentang fisioterapi, penyakit menular seksual, hingga HIV/AIDS. Seolah ilmu baginya adalah laut luas, yang harus terus dijelajahi tanpa pernah merasa cukup.

Namun, yang membuatnya berbeda adalah keberaniannya melintasi batas disiplin. Ia mengambil Magister Humaniora di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, sebuah langkah yang jarang ditempuh seorang dokter. Dari sana ia belajar melihat kesehatan bukan hanya sebagai perkara gizi dan sel tubuh, tetapi juga sebagai refleksi nilai, budaya, bahkan makna hidup.

Perpaduan ini kemudian ia teguhkan dengan meraih gelar doktor di bidang Gizi Komunitas dari FKUI, menjadikannya sosok yang bicara dengan otoritas ilmu sekaligus kepekaan nurani.

Di ruang publik, Dr. Tan dikenal lantang. Ia bukan tipe yang sekadar menunduk sopan ketika melihat kebijakan tak sejalan dengan akal sehat gizi. Ketika program “Makan Bergizi Gratis” digulirkan pemerintah, ia hadir di ruang rapat DPR dengan suara yang tajam namun jernih: mengingatkan bahwa makanan bergizi bukanlah soal kardus berisi produk instan, melainkan soal pangan lokal yang segar, berakar pada tanah sendiri, dan berakar pada budaya makan bangsa. Kritiknya sempat mengguncang, tapi juga menyadarkan: bahwa dalam urusan memberi makan anak-anak bangsa, kita tak bisa menyerahkan lidah dan perut kita pada industri semata.

Lebih jauh, Dr. Tan selalu menekankan bahwa stunting bukanlah tragedi yang datang tiba-tiba. Ia berakar sejak masa hamil, sejak masa menyusui, sejak awal kehidupan seorang anak. Maka, baginya, kesehatan bukan urusan sesaat atau proyek lima tahun. Ia adalah kerja panjang, kerja cinta, kerja mendidik generasi agar mengenal tubuh dan alamnya.

Dr. Tan bukan mengecam suatu program karena ingin menjadi oposisi. Kritiknya kelihatan sebagai upaya menyelamatkan makna di balik kata “bergizi”. Ia menegaskan bahwa food safety dan kompetensi dalam pelayanan makanan massal adalah hal yang tak bisa ditawar; ia memperingatkan bahaya apabila bahan baku, proses produksi, hingga distribusi makanan tak memperhatikan standar seperti HACCP.

Selain berbicara di ruang-ruang seminar dan menulis kolom di media, ia menyalurkan pemikirannya lewat buku-buku. Judul-judul seperti Saya Pilih Sehat dan Sembuh, Anak Sehat Indonesia, atau Resep Panjang Umur adalah undangan lembut untuk kembali berpikir sederhana: bahwa sehat tidak dijual di rak supermarket, tetapi ditanam di halaman rumah, dimasak dengan kasih sayang, dan dirawat dengan kebiasaan sehari-hari.

Di ruang pribadi, Dr. Tan jarang menonjolkan sisi keluarganya ke publik. Ia lebih memilih membiarkan karyanya dan gagasannya berbicara. Dari tempat prakteknya di Tangerang, ia terus melayani pasien, namun juga melayani masyarakat luas dengan pemikiran-pemikirannya yang menyalakan kesadaran.

Menurut Dr. Tan, identitas kuliner dan kedaulatan pangan penting untuk dipertahankan. Menu yang digunakan pada program pemerintah harus merefleksikan kekayaan lokal — agar anak-anak tidak “asing” pada makanannya sendiri. Kapurung di Sulawesi, ikan kuah asam di Papua, ia sebut sebagai contoh konkret menu lokal yang kaya gizi dan bermakna budaya. (*)

BACA JUGA: Perintah Presiden Prabowo Pelajari MBG di Sekolah-sekolah Brasil Dinilai Sangat Tepat

Back to top button