CrispyVeritas

Ekonom FINE Institute Kritik Pendekatan Sri Mulyani Sikapi Kebijakan Tarif AS

Menurut Kusfiardi, dalam situasi internasional yang kian didominasi praktik koersif dan unilateralisme, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan diplomasi. “Mengandalkan diplomasi semata tanpa langkah konkret di lapangan, bisa menempatkan Indonesia pada posisi yang rentan,” ujarnya.

JERNIH– Analis ekonomi politik dari FINE Institute, Kusfiardi, menyatakan, strategi pemerintah Indonesia yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam menghadapi kebijakan tarif Amerika Serikat dinilai belum cukup kuat untuk membangun posisi tawar yang kokoh di panggung perdagangan global.

Pernyataan itu disampaikan Kusfiardi menyusul pemaparan Sri Mulyani dalam Forum Silaturahmi Bersama Presiden, 8 April lalu. Saat itu pemerintah menekankan pendekatan defensif seperti reformasi fiskal, deregulasi perpajakan, serta memanfaatkan peluang dari trade diversion.

Menurut Kusfiardi, dalam situasi internasional yang kian didominasi praktik koersif dan unilateralisme, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan diplomasi. “Mengandalkan diplomasi semata tanpa langkah konkret di lapangan, bisa menempatkan Indonesia pada posisi yang rentan,” ujarnya.

Kusfiardi mendorong pemerintah untuk mengimbangi upaya diplomasi dengan penerapan langkah-langkah protektif yang sah dan sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ia juga menekankan pentingnya kajian menyeluruh terhadap sektor-sektor ekonomi yang paling terdampak, serta perlunya merumuskan kebijakan countermeasure yang terukur.

Sikap serupa juga disampaikan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, Suryani Motik. Dalam artikelnya bertajuk “Dirtylateral: Fair Trade ala Trump?”, ia menegaskan bahwa Indonesia perlu meninggalkan sikap pasif dan mulai menerapkan hambatan nontarif yang efektif untuk melindungi kepentingan nasional.

Kusfiardi menilai, langkah-langkah tersebut sejalan dengan pendekatan realisme dalam ekonomi politik internasional yang menempatkan negara sebagai aktor rasional yang harus mengutamakan kepentingan strategis dalam menghadapi dinamika global.

“Indonesia harus menyeimbangkan diplomasi dengan strategi kebijakan yang lebih progresif dan tegas. Ini bukan hanya soal merespons, tapi soal memperkuat kedaulatan ekonomi dalam jangka panjang,” kata dia.

Sri Mulyani sebelumnya menyatakan bahwa diplomasi tetap menjadi jalur utama pemerintah dalam meredakan ketegangan tarif dengan AS. Namun, di tengah arus proteksionisme global yang terus menguat, pendekatan hati-hati ini dinilai sejumlah pihak belum cukup menjawab tantangan yang dihadapi Indonesia. [ ]

Back to top button