Eks Komisioner KPK Masuk Calon Petinggi BUMN, OC Kaligis Buka Oroknya
JAKARTA – Masuknya nama eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah sebagai calon petinggi di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), rupanya membuat pengacara kondang, Otto Cornelis Kaligis bereaksi.
Karenanya, melalui kuasa hukum OC Kaligis, Desyana, menyurati Menteri BUMN, Erick Thohir sebagai bahan pertimbangan menempatkan Chandra pada perusahaan plat merah tersebut.
Surat itu berisi kurang lebih terkait rekayasa dan target lembaga antirasuah. Sebab, kata Desyana, kliennya yang kini menjadi warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung merupakan hasil rekayasa.
Desyana menjelaskan, Chandra diberhentikan sebagai komisioner KPK melalui keputusan Presiden, karena terlibat korupsi dan sempat ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Namun dibebaskan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui deponering.
Akan tetapi ada yang aneh, lanjut kuasa hukum OC Kaligis, pembebasan tersebut beralasan demi kepentingan umum. Padahal, ada kepala daerah yang divonis bersalah karena kebijakan yang dibuatnya tanpa ada kerugian negara.
“Aneh memang koruptor dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum. Ini bukti adanya tebang pilih,” katanya di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
“Surat tersebut telah disampaikan dan ditujukan ke Menteri Erick Thohir agar menjadi bahan pertimbangan,” Desyana menambahkan.
Tak hanya itu, dua buku berjudul Korupsi Bibit-Chandra dan M. Nazarudin : Jangan Saya Direkayasa Politik & Dianiaya. Juga turut diberikan. Buku-buku itu berdasarkan data dan fakta yang diperoleh OC Kaligis ketika membela para korban rekayasan KPK di pengadilan.
Bahkan buku itu menjadi salah satu koleksi di perpustakaan yang ada di Australia dan Belanda.
Sebelumnya, pada 2009 lalu, Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri yang masih menjabat Kapolri, membantah telah melakukan rekayasa dalam penyidikan pimpinan KPK nonaktif, Chandra M Hamzah dan Bibit S Riyanto.
“Tidak benar kita lakukan rekayasa, kriminalisasi. Saya akan tindak apa pun jabatannya, jika merekayasa penyidikan,” katanya.
Danuri menjelaskan, kasus tersebut bermula saat Antasari (eks Ketua KPK) membuat testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan KPK pada 16 mei 2009. Namun Antasari saat itu ditahan atas kasus dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.
Karena testimoni tak ditindaklanjuti polisi, Antasari kemudian membuat laporan resmi pada 6 Juli 2009, terkait dugaan suap ke Polda Metro Jaya. Kemudian dilimpahkan ke Mabes Polri.
Lalu setelah melalui proses lidik dan sidik, pada 7 Agustus 2009 didapatlah fakta dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh dua tersangka yang melanggar Pasal 21 Ayat 5 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Saat penyidikan, ditemukan keputusan pencekalan dan pencabutan pencekalan yang tidak secara kolektif. Dimana pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dilakukan oleh Chandra Hamzah dan pencekalan terhadap Joko Tjandra oleh Bibit S Riyanto. Tak hanya itu, pencabutan pencekalan terhadap Joko Tjandra oleh Chandra Hamzah.
Setelah memeriksa beberapa saksi, alat bukti, dan saksi ahli atas kasus pencekalan terhadap Anggoro, ditemukan adanya aliran dana yang diungkap pada 25 Agustus 2009 lalu. Kemudian pada 15 September 2009, dua pimpinan KPK nonaktif itu ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka.
Karena dirasa lengkap, berkas berkas keduanya lalu dikirim ke Kejaksaan dan penyidik menahan pada 29 Oktober 2009, karena dinilai tak kooperatif.
Pada Jumat (29/10/2010) Kejaksaan Agung melakukan deponeering atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum terhadap penanganan kasus dugaan suap kedua tersangka yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.
Menurut Jaksa Agung Darmono, hal itu demi menyelamatkan pemberantasan korupsi. Sehingga mengesampingkan perkara demi kepentingan yang luas, yakni mengamankan dan menyelamatkan pemberantasan korupsi di Indonesia. [Fan]