Epidemiolog Australia Curiga Ada Corona Varian Baru di Indonesia
Penanganan Covid-19 yang tidak maksimal dikhawatirkan menyebabkan kemunculan varian baru Covid-19 sebab virus telah lama berada di tubuh manusia.
JERNIH-Melihat tingginya angka penularan Covid-19 di Indonesia, seorang Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengkhawatirkan adanya varian (strain) baru Covid-19 di Indonesia.
Kekhawatiran Dicky berdasarkan pengamatannya terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia yang dinilainya tidak maksimal.
“Sekarang sudah bukan masalah lonjakan saja, tapi kemungkinan ada strain baru yang made in Indonesia. Terjadi di Indonesia yang pandeminya tidak terkendali, jadi sangat besar potensi menghasilkan strain baru,” kata Dicky, pada Senin (15/2/2021) lalu.
Menurutnya program tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) di Indonesia juga tidak maksimal, sementara virus terus berkembang dan menularkan antar manusia. Bahkan virus tersebut juga bisa mengalami evolusi.
“Ini evolusi normal, selama kita tak bisa mencegah kasus, selama kita biarkan pelonggaran, maka semakin besar kemungkinan mutasi virus,” sambungnya.
Ada dua hal yang dilihat Dicky menjadi penyebab terjadinya penularan Corona yang berkepanjangan, yakni penanganan pandemi Covid-19 yang masih belum optimal dan liburan panjang yang memungkinkan orang bepergian. Padahal, menurut Dicky mobilitas orang harus dibatasi di masa pandemi Covid-19.
Menurut pengamatan Dicky, di masa libur panjang pelaksanaan tes Covid-19 juga tidak maksimal sehingga dikhawatirkan kemunculan varian baru Covid-19 sebab virus telah lama berada di tubuh manusia.
“Jadi wajar kalau sudah ada strain baru. Hanya masalahnya, kemampuan deteksi dini kita yang masih rendah. Ini diperparah dengan upaya pencarian kasus [surveilance] kita yang juga rendah, jadi memang intervensi public health kita ini rendah memungkinkan mutasi virus,” kata Dicky menjelaskan alasannya mencurigai adanya strain baru Corina varian Indonesia.
Terkait pernyataan Epidemiolog Australia itu, Windhu Purnomo, epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo sepakat bahwa pemerintah hingga saat ini tidak serius menangani pandemi Covid-19.
“Ini persoalan yang sangat serius kalau jumlah tracer kita se-Indonesia cuma 5000-an orang. Aneh banget. Ini menunjukkan bahwa selama ini memang kita tidak serius menangani pandemi, cuma main-main saja,” kata Windhu.
“Kalau testing dan tracing kita lemah, maka case finding/ detection sangat buruk, sehingga apa yang kita laporkan selama ini hanya puncak dari gunung es. Di bawah permukaan ada 5-10 kali lipat kasus yang belum terdeteksi dan terus menjadi reservoir penularan. Ini bom waktu,” ucap Windhu kala itu.
Pekan lalu Menko PMK Muhadjir Effendy mengaku kaget ketika mengetahui, selama pandemi Covid yang sudah berjalan selama 11 bulan, kita hanya punya pelacak (tracer) Covid-19 hanya sekitar 5.000 orang. Dari jumlah tersebut, sepertiganya berada di DKI Jakarta yang menjadi episentrum awal pandemi Covid-19 di Indonesia. (tvl)