CrispyVeritas

Fadli Zon Ajukan Gagasan “Out of Nusantara”: Indonesia Sebagai Poros Baru Evolusi Manusia dan Pusat Peradaban Purba

Di forum UISPP Inter-Regional Conference 2025, forum prasejarah dunia bertema “Asian Prehistory Today: Bridging Science, Heritage, and Development” yang dihadiri sejarawan, arkeolog, paleoantropolog, dan peneliti dari 40 negara itu Fadli mengajukan ide “Out of Nusantara” — teori yang menempatkan kepulauan Indonesia sebagai pusat peradaban purba dan poros baru evolusi manusia dunia. “Selama ini dunia hanya mengenal narasi Out of Africa,” kata Fadli. “Hari ini, Indonesia mengajukan perluasan cara pandang: Indonesia bukan sekadar lokasi temuan, tetapi pusat yang menentukan cara dunia memahami asal-usul manusia dan peradaban.”

JERNIH– Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, mengguncang forum ilmiah dunia dengan gagasan berani: “Out of Nusantara” — teori yang menempatkan kepulauan Indonesia sebagai pusat peradaban purba dan poros baru evolusi manusia dunia.

Gagasan itu disampaikan Fadli saat membuka UISPP Inter-Regional Conference 2025 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Senin (28/10). Forum prasejarah dunia bertema “Asian Prehistory Today: Bridging Science, Heritage, and Development” itu dihadiri sejarawan, arkeolog, paleoantropolog, dan peneliti dari 40 negara. Rangkaian acaranya berlangsung hingga 6 November, dengan lokasi lanjutan di Museum Manusia Purba Sangiran dan Museum Ullen Sentalu Yogyakarta.

“Selama ini dunia hanya mengenal narasi Out of Africa,” kata Fadli. “Hari ini, Indonesia mengajukan perluasan cara pandang: kita perlu berbicara tentang Out of Asia, bahkan Out of Nusantara. Indonesia bukan sekadar lokasi temuan, tetapi pusat yang menentukan cara dunia memahami asal-usul manusia dan peradaban.”

Menurut Fadli, konsep itu bukan semata retorika, melainkan berdiri di atas bukti arkeologis dan paleoantropologis yang melimpah di Nusantara. “Wilayah ini adalah laboratorium awal evolusi biologis, teknologi, dan imajinasi simbolik manusia,” kata dia. “Indonesia harus diakui sebagai salah satu poros utama sejarah peradaban manusia awal — dari kemampuan navigasi laut, adaptasi lingkungan ekstrem, hingga kelahiran seni dan teknologi logam.”

Fadli menguraikan tiga jalur bukti utama. Pertama, jejak Homo erectus di tepian Bengawan Solo — yang ditemukan Eugène Dubois dan dikenal sebagai Java Man. “Penemuan ini menjadi fondasi ilmu paleoantropologi modern,” kata Fadli. “Lebih dari 60 persen fosil Homo erectus dunia ditemukan di Indonesia.”

Ia juga mengumumkan keberhasilan Indonesia memulangkan Koleksi Dubois dari Belanda pada akhir September lalu: sebanyak 28.131 fosil, termasuk material asli Homo erectus dari Trinil. “Selama lebih dari satu abad, dunia memperdebatkan asal-usul manusia memakai fosil dari Indonesia, sementara rakyat kita sendiri tak pernah melihatnya. Era itu berakhir sekarang,” ujar Fadli. “Ini kemenangan bagi keadilan sejarah, kedaulatan budaya, dan ilmu pengetahuan yang berpihak pada bangsa.”

Bukti kedua, kata Fadli, adalah temuan seni gua purba di berbagai wilayah Nusantara. “Indonesia memiliki lukisan naratif tertua di dunia — berusia 51.200 tahun — di Leang Karampuang, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan,” kata dia. Lukisan itu menggambarkan figur manusia, hewan, dan perahu: kisah visual peradaban maritim sejak puluhan milenium lalu.

Ia juga menyinggung Gua Lida Ajer di Sumatra Barat yang menunjukkan keberadaan Homo sapiens lebih dari 60.000 tahun lalu di hutan hujan tropis, serta Gua Harimau di Sumatra Selatan yang memperlihatkan kesinambungan budaya dari 22.000 tahun lalu hingga awal Masehi. “Temuan tembikar, alat logam, bahkan jejak anemia dan malaria memperlihatkan kompleksitas kehidupan purba kita,” kata Fadli.

Bentang Sangkulirang–Mangkalihat di Kalimantan Timur dan Liang Kobori di Sulawesi Tenggara juga disebut sebagai bukti kuat jejak visual budaya Austronesia awal. “Lukisan perahu dan perburuan di Liang Kobori menunjukkan bahwa manusia purba Nusantara telah mengenal pelayaran jauh sebelum peradaban lain,” ujar Fadli. “Mereka tak sekadar berjalan menyusuri daratan seperti dalam teori Out of Africa — mereka mengarungi lautan.”

“Bukti-bukti ini membalikkan peta sejarah,” kata Fadli. “Bahwa persebaran manusia purba tidak semata satu arah dari Afrika, melainkan bisa bermula dari Nusantara.”

Menurutnya, manusia purba di wilayah ini sudah memiliki fungsi-fungsi peradaban yang kompleks: bercerita, memakamkan dengan hormat, berteknologi logam, memetakan ruang sakral, dan merantau melintasi lautan. “Indonesia adalah arsip hidup peradaban umat manusia,” ujar dia.

Konferensi yang diadakan UISPP bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan, BRIN, Indonesian Heritage Agency, dan UKSW ini menegaskan integrasi antara sains, pelestarian warisan, dan pembangunan berkelanjutan. “Budaya adalah soft power kita,” kata Fadli. “Ia menyatukan bangsa, membangun dialog lintas batas, memperkuat kepercayaan antarnegara, dan mendorong transformasi ekonomi.”

Presiden UISPP Prof. Jacek Kabaciński menyampaikan apresiasi atas kepemimpinan Indonesia dalam forum tersebut. Ia menilai, forum ini memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas ilmiah global dan membuka babak baru studi prasejarah Asia.

Di akhir pidatonya, Fadli menyerukan kemitraan ilmiah yang lebih setara. “Kami mengundang Anda semua untuk bekerja bersama kami di Sangiran, di Maros-Pangkep, di Lida Ajer, di Muna, di seluruh kepulauan Indonesia,” kata dia. “Kita dorong model riset yang berbasis restitusi, kepemilikan bersama, dan pengetahuan yang berpihak pada masyarakat — penjaga sejati situs-situs ini.”

Di bawah langit Salatiga yang teduh, ide “Out of Nusantara” menggema bukan sekadar teori ilmiah, tetapi seruan kebangsaan: bahwa Indonesia bukan hanya warisan peradaban, melainkan sumbernya. [ ]

Back to top button