CrispyVeritas

Fenomena Miliarder dengan Ratusan Anak Demi Warisan dan Kekuasaan Bisnis

Dari miliarder game asal Tiongkok hingga pendiri Telegram Pavel Durov, tren memiliki banyak anak demi meneruskan kekayaan kian mencuri perhatian dunia.

WWW.JERNIH.CO –  Bagi para miliarder dunia, membangun imperium bisnis yang raksasa ternyata tidak lagi dianggap cukup sebagai pencapaian akhir. Muncul sebuah tren baru di kalangan pria paling berkuasa di dunia, seperti Elon Musk, Pavel Durov, hingga pengusaha gim asal Tiongkok, Xu Bo, yang memandang jumlah keturunan sebagai elemen krusial dari strategi jangka panjang mereka.

Alih-alih sekadar urusan domestik atau privasi, memiliki anak dalam jumlah banyak kini dipandang sebagai metode sistematis untuk menjamin keberlanjutan kekayaan melalui barisan ahli waris yang dipersiapkan secara khusus.

Salah satu contoh paling mencolok dari fenomena ini adalah Xu Bo, pendiri Guangzhou Duoyi Network. Meskipun membangun kekayaan senilai Rp17,05 triliun di Tiongkok, pria berusia 48 tahun ini justru mengarahkan ambisinya ke Amerika Serikat.

Melalui investigasi Wall Street Journal, terungkap bahwa Xu Bo berupaya memiliki sekitar 20 anak yang lahir di AS melalui jasa ibu pengganti (surrogacy). Ia memegang prinsip bahwa memiliki banyak anak adalah solusi bagi segala masalah, bahkan secara spesifik mencari “putra berkualitas tinggi” untuk mengambil alih bisnisnya di masa depan.

Ambisinya bahkan meluas hingga ke ranah fantasi sosial, di mana ia membayangkan keturunannya kelak akan menikahi anak-anak Elon Musk demi memperkuat jaringan kekuasaan globalnya.

Tak kalah ambisius, Pavel Durov, pendiri Telegram yang memiliki kekayaan sekitar Rp220,1 triliun, menempuh jalur yang berbeda namun dengan hasil yang serupa.

Selain memiliki enam anak dari hubungan personalnya, Durov mengklaim telah membantu menghasilkan lebih dari 100 anak di 12 negara melalui program donor sperma selama belasan tahun.

Bagi Durov, warisan bukan sekadar soal garis keturunan biologis tradisional. Ia bahkan telah menyiapkan surat wasiat yang memberikan hak setara bagi semua anaknya—baik yang dikandung secara alami maupun melalui donor—demi memastikan keadilan dan mencegah konflik internal setelah ia tiada.

“Mereka semua adalah anak-anak saya dan memiliki hak yang sama. Saya tidak ingin mereka saling bertengkar setelah saya meninggal,” ujar Durov.

Meskipun fenomena ini memicu kontroversi besar terkait etika dan legalitas, tren tersebut menegaskan bahwa bagi mereka yang memiliki sumber daya tak terbatas, memperluas warisan melalui “pencetakan” ahli waris adalah batas baru dalam ambisi kekuasaan mereka.

Namun, fenomena ini membawa perdebatan etika yang sangat dalam, terutama mengenai komodifikasi kehidupan manusia. Ketika seorang miliarder berbicara tentang mencari “putra berkualitas tinggi,” muncul kekhawatiran mengenai praktik eugenika modern, di mana anak-anak dipandang sebagai produk yang bisa dipesan dengan spesifikasi tertentu daripada sebagai individu yang merdeka.

Selain itu, penggunaan jasa ibu pengganti berskala besar memicu kritik mengenai potensi eksploitasi terhadap perempuan dari kelas ekonomi yang lebih rendah, yang tubuhnya digunakan untuk memenuhi ambisi “pencetakan” ahli waris bagi kaum elit.

Dari sisi hukum, pilihan para miliarder ini untuk melakukan prosedur di Amerika Serikat bukan tanpa alasan. AS memiliki regulasi yang jauh lebih longgar dan melindungi kontrak ibu pengganti dibandingkan China atau banyak negara Eropa yang melarang praktik tersebut.

Dengan memiliki anak berstatus warga negara AS, para miliarder ini tidak hanya mendapatkan keuntungan hukum, tetapi juga diversifikasi geopolitik bagi aset dan keturunan mereka. Namun, tantangan hukum yang masif akan muncul di masa depan, terutama terkait kompleksitas pembagian warisan bagi ratusan anak yang tersebar di berbagai negara dengan yurisdiksi hukum yang berbeda-beda.

Secara keseluruhan, pergeseran paradigma ini menunjukkan bahwa di mata para miliarder, konsep keluarga telah bertransformasi dari sekadar unit emosional menjadi aset strategis yang terencana secara bisnis.

Mereka memandang keturunan sebagai agen-agen yang akan melanjutkan tongkat estafet pengaruh mereka di berbagai belahan dunia. Meskipun fenomena ini memberikan kepastian bagi kelangsungan kerajaan bisnis mereka, ia juga meninggalkan pertanyaan besar tentang hak-hak anak dan batasan moral dalam pengejaran ambisi kekuasaan yang tak berujung.(*)

BACA JUGA: Klinik Moskwa Tawarkan Sperma Pendiri Telegram Pavel Durov Secara Gratis

Back to top button