Crispy

Figur Sejarah yang Terlupa: Dr Abdoel Rivai

  • Sebagai wartawan, Abdoel Rivai mengamati Perang Jepang-Rusia.
  • Ia menjadi orang pertama yang mengusulkan perlunya dibentuk organisasi kebangsaan.
  • Ia terlupa karena tak menyaksikan bangsanya merdeka.

JERNIH — Jika ke Bandung, Bukittinggi, atau Kecamatan Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur, sempatkan melintas di Jl Dr Abdul Rivai. Hanya di dua kota dan satu kecamatan ini penggagas awal nasionalisme Indonesia ini diabadikan di ruang publik.

Secara nasional, Dr Abdul Rivai terlupa. Kalau pun ada yang mencatat nama Dr Abdul Rivai secara terhormat dalam buku peringatan, mungkin hanya Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), dan tahun 1974 dan pers Indonesia mengangkatnya sebagai Pelopor.

Peneliti sejarah Harry A Poeze mengatakan peran Rivai membangun nasionalisme Indonesia telah dilupakan. Penyebabnya sederhana, Rivai tidak pernah melihat bangsanya merdeka. Rivai meninggal di Bandung tahun 1937 pada usia 66 tahun.

Masuk Universitas Amsterdam

Abdoel Rivai lahir di Palembayan, Sumatera Barat, tahun 1871. Ayahnya; Abdul Karim, seorang guru di sekolah pribumi berbahasa Melayu, dan ibunya; Siti Kemala Ria adalah keturunan keluarga Kerajaan Mukomuko di Bengkulu. Secara etnis, Abdul Rivai adalah Minangkabau — sama seperti Mohammad Hatta.

Tahun 1886, saat berusia 15 tahun, Rivai berangkat ke Batavia untuk bersekolah di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Ia menyelesaikan pelatihannya tahun 1894 dan mendapat pekerjaan di Deli (Sumatera Utara).

Harry A Poeze, dalam Orang Indonesia di Belanda 1600-1950, mencatat Rivai menikah dengan janda muda Belanda. Namun, Rivai merasakan pernikahan itu sebagai cara pemerintah kolonial mengebiri gerakannya karena dianggap sebagai elemen masyarakat pribumi Hindia-Belanda yang terlalu modern.

Setelah lima tahun bekerja di Deli, Rivai memutuskan meninggalkan pekerjaan dan si janda muda untuk berangkat ke Belanda. Tiba di Belanda, Rivai menyasar sekolah kedokteran di Utrecht. Namun ia mengalihkan perhatian ke Universitas Amsterdam.

Sialnya, Rivai tidak diizinkan mendaftar ke Universitas Amsterdam sampai 1904. Tahun 2004, atau seratus tahun kemudian, jurnalis Herman Keppy menulis secara rinci upaya Rivai mengatasi masalah ini.

Rivai mendatangi Menteri Tanah Jajahan Jacob Theodore Cremer yang liberal untuk memberinya pengecualian. Di Batavia, Gubernur Jenderal Willem Rooseboom keberatan. Gelar kedokteran Belanda, menurut Rooseboom, pada dasarnya berlaku sebagai kompensasi atas kesombongan pribumi.

Cremer mengabaikan keberatan Rooseboom dan mengimbau rekan-rekannya di Kementerian Dalam Negeri untuk menyesuaikan undang-undang bagi pribumi Hindia-Belanda yang memiliki ijazah STOVIA. Tahun berikut, Rivai mulai belajar di Universitas Amsterdam.

Rivai tinggal di Paris sepanjang 1906 untuk belajar di Institut Pasteur. Ia kembali ke Amsteram dan menyelesaikan studinya pada 13 Juni 1908. Rivai menjadi pribumi Hindia-Belanda kedua yang meraih sarjana kedokteran di Belanda, setelah Asmaoen pada 21 Desember 1907.

Setelah wisuda kedokteran, Rivai dihadapkan pada pilihan sulit; melanjutkan studi untuk meraih PhD atau kembali ke Hindia-Belanda. Jika kembali ke Hindia-Belanda, Rivai tak punya waktu menulis desertasi dan gelar PhD tak mungkin dicapai.

Universitas Ghent di Belgia menawarkan solusi. Gelar doktor bisa diperoleh lewat ujian umum dan tanpa desertasi. Abdul Rivai meraih semua gelar yang diinginkan; dokter medis, bedah, dan kebidanan di Ghent.

Guru, Wartawan

Tidak ada pekerjaan menarik bagi aktivis selain menjadi wartawan dan guru. Saat di Amsterdam, sebelum mulai kuliah di Universitas Amsterdam, Rivai mengajar Bahasa Melayu di lembaga kursus di Berlitz. Saat yang sama ia tertarik pada jurnalistik.

Tahun 1899 Rivai menerbitkan majalah dwimingguan Pewarta Wolanda. Ia masih memperlihatkan diri sebagai anak negeri jajahan yang setia kepada penjajah, dengan menjadikan Pewarta Wolanda sebagai media yang menyebarkan pengetahuan tentang Belanda kepada pribumi Hindia-Belanda.

Sayang, majalah itu nggak laku, yang membuat Rivai menghentikan penerbitan tahun 1901. Menariknya, semua artikel di majalah itu diambil alih majalah-majalah Melayu di Hindia Belanda.

Kehilangan Pewarta Wolanda tidak membuat Riva berhenti sebagai wartawan. Ia menjadi penyumbang Kolonial Weekblad Vereeniging Ost en West dan Algemenen Handelsblad. Untuk alasan ini Algemeen Handelsblaad pada 1901 mewawancarai Rivai.

Gerard Termorshuizen, peneliti pers di Universitas Leiden, mengatakan Rivai mungkin orang pribumi pertama yang diwawancarai surat kabar Belanda. Di Hindia Belanda, surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden mengambil artikel wawancara ekstensif itu dan menerbitkannya pada 19 Juni 1901.

Dalam wawancara itu Rivai melontarkan beberapa pernyataan mencengangkan. Salah satunya; “Masyarakat di sini (di Belanda – red) lebih baik dibandingkan orang-orang Eripa di Hindia-Belanda.”

“Orang-orang Eropa di Hindia-Belanda harus belajar membedakan antara pribumi yang beradab dan tidak, serta tidak menolak penduduk asli karena rasa gengsi yang tak bisa dipahami.”

Dalam artikelnya, Rivai juga menulis apa yang harus dilakukan pribumi yang mendapat pendidikan Eropa. “Pribumi yang mendapat pendidikan Eropa harus kembali ke Hindia-Belanda sebagai pribumi yang disegarkan budaya Eropa tanpa harus menjadi orang Eropa, yaitu bertindak seperti orang Belanda, besar kepala di hadapan pribumi. Pribumi yang berkembang di Eropa haruslah tidak menguntungkan diri sendiri tapi juga seluruh rakyat Hindia-Belanda,” tulisnya.

Mungkin, itulah pemikiran progresif pertama Rivai. Pemikiran yang sangat sesuai dengan jalur Politik Etis yang menjadi kebijakan Kerajaan Belanda terhadap Hindia Belanda sejak 1901.

Sebagai jurnalis, Rivai adalah petualang. Ia menggabungkan Pewarta Wolanda dengan Soerat Chabar Soldadoe, atau Surat Kabar Tentara, yang terbit sejak 1899. Ia bekerja sama dengan Letnan Satu KNIL Clockener Brousson membentuk Bendera Wolanda — majalah dua mingguan terbitan Batavia.

Di media baru ini Rivai mengusung modernisasi Islam, memerangi fanatisme, dan intoleransi. Namun, Brousson membuat skandal. Ia menulis artikel anti-Katolik dan menyebut Ratu Wilhelmina yang Protestan. Brousson dipecat dari KNIL dan Bintang Wolanda ditutup.

Brousson tak patah arang. Tahun 1902, masih bersama Rivai, ia menerbitkan Bintang Hindia di Bandung. Majalah itu sangat modern, banyak gambar, dengan desain baru yang segar. Namun, oplag Bintang Hindia berfluktuasi. Terkadang 10 ribu, dan sempat melonjak menjadi 27 ribu. Artinya, Bintang Hindia tidak punya pelanggan tetap seperti kebanyakan media yang lain yang bisa hidup dengan delapan ribu pelanggan.

Perang Rusia-Jepang, Pemikiran Rivai

Bintang Hindia menjalankan kebijakan Pewarta Wolanda, memberi informasi tentang Belanda kepada penduduk Hindia Belanda, serta menjunjung tinggi Ratu Belanda. Namun, Rivai juga menaruh perhatian besar pada Perang Rusia-Jepang 1904-1905, karena dunia menyaksikan bagaimana kali pertama negara Eropa dikalahkan bangsa Asia.

Rivai mampu mengungkapkan makna kemenangan Jepang dalam perang itu. Sesuatu yang penting, karena Bintang Hindia menjangkau hampir seluruh kelompok masyarakat Indonesia modern berpendidikan tinggi. Saat itulah, tahun 1905, ia kali pertama menyampaikan gagasan perlunya dibentuk Perhimpoenan Kaoem Moeda yang memiliki cabang di seluruh Hindia-Belanda.

Organisasi itu, menurut Rivai, harus mempromosikan pendidikan, menerbitkan buku pelajaran, membentuk dana pelajar. Asosiasi bangsawan spiritual di antara pribumi harus merangsang solidaritas dan mendorong pribumi mendapatkan banyak akses dalam perdagangan dan industri.

Hindia-Belanda, lanjut Rivai, sudah harus memiliki organisasi nasional pribumi yang tidak fokus pada satu wilayah atau pulau, atau kepentingan kelompok kecil, dan berjalan tanpa dukungan pemerintah Hindia-Belanda.

Rivai, sadar atau tidak, telah menggugah nasionalisme pribumi atau nasionalisme Indonesia. Tanpa ia ketahui, gagasannya membuat kabinet Belanda di Den Haag gerah. Upaya membungkam Rivai dijalankan.

Seorang anggota kabinet, seperti dituturkan Ronald Frisart dalam Abdoel Rivai: wegbereider voor Indonesische nationalisten, mendekati Brousson dan mengatakan; Rivai itu ‘merah’. Merah adalah kata untuk mengidentifikasi orang komunis.

Brousson dan Rivai, seraya mengabaikan kesulitan ekonomi yang dihadapi korannya, berselisih. Bintang Hindia terbit kali terakhir 15 Juni 1907. Setahun kemudian, tepatnya 20 Mei 1908, Boedi Oetomo — perhimpunan priyayi Jawa — muncul dengan gagasan memajukan pendidikan dan pembangunan pribumi.

Namun, Boedi Oetomo masih jauh dari gagasan Rivai, karena terkonsentrasi di Jawa dan priyayisentris. Meski demikian, Boedi Oetomo memantik lahirnya organisasi-organisasi yang menyebut diri perwakilan masyarakat dari seluruh Indonesia.

Sebagai penggagas pendirian organisasi ke-Indonesia-an, Rivai mendahului zamannya.

Kembali ke Hindia-Belanda

Di Belanda tahun 1909, Rivai menikah dengan Bertha Anne Rautenberg — perempuan Belanda kelahiran London yang berusia enam tahun lebih muda. Tahun berikut dia kembali ke Hindia Belanda dan menjadi petugas kesehatan KNIL.

Semula dia bekerja di Batavia. Dengan alasan kesehatan, Rivai pindah ke Bandung yang berudara lebih sejuk. Ia dikabarkan pernah ditempatkan di rumah sakit militer di Cimahi.

Perjalanan Rivai rupanya sedemikian panjang, dan sulit ditelusuri. Ia pernah berjanji menjadi dokter di Padang. Ada yang mengatakan Rivai pernah tinggal di Berlin, mempelajari penyakit mata di London, dan mengunjungi kota-kota lain di Eropa.

Tahun 1918 Rivai menjadi anggota Volkskraad atas nama Uni Sumatera. Ia tak sering hadir di lembaga tak punya kuasa apa pun di Hindia Belanda itu sampai 1925, tapi pengaruhnya luar biasa. Saat itu, ia tidak lagi berbasa-basi soal nasionalisme Indonesia.

Tahun 1926, Partai Komunis Indonesia (PKI) terlalu dini memberontak, yang membuat pemerintah Hindia-Belanda tanpa kesulitan memberangus dan membuang semua pentolannya ke Boven-Digul di Papua.

Meski gampang dimusnahkan, pemberontakan PKI itu menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk kulit putih. Badan Intelejen Hindia Belanda (CID) merespon dengan kelacak kaitan gerakan komunis di luar negeri dengan di dalam negeri.

Akhir Juli 1929, CID mengirim dua agennya ke Frankfurt saat terjadi Kongres Dunia Liga Melawan Imperialisme. Saat itu, menurut laporan CID, Hindia Belanda mengirim 13 wakilnya.

Dua agen CID melaporkan sekelompok anarkis, penjahat politik, dan lainnya bertemu di Zoological Garden di Main, Jerman. Di antara mereka yang hadir terdapat Mohammad Hatta, mahasiswa Indonesia di Rotterdam, dan anggota terkemuka asosiasi nasionalis Perhimpoenan Indonesia.

Laporan rinci CID menyebutkan akan ada pemberontakan nasionalis-komunis Indonesia. Gerakan tidak dipimpin dari Moskwa, tapi dari Jerman oleh anggota Reichstag Willy Munzenberg, yang dibantu Mohammad Hatta dan Dr Abdoel Rivai.

Laporan konyol itu tidak terbukti sebab tidak ada pemberontakan sampai akhir 1929. Setelah itu, sebagai penggagas awal organisasi kebangsaan, Abdoel Rivai terlupa.

Back to top button