
Perubahan epigenetik dapat dipicu faktor lingkungan yang ekstrem, seperti stres psikologis parah berkepanjangan, malnutrisi dan kekurangan gizi kronis serta paparan polutan dan racun tingkat tinggi. Semua faktor ini telah dialami warga Palestina di Gaza secara terus-menerus selama hampir dua tahun.
JERNIH – Di Jalur Gaza, tempat kematian mengintai di setiap sudut, perang kini tidak hanya mengubah kehidupan sehari-hari dan menghancurkan infrastruktur fisik, tetapi juga secara diam-diam mengubah kode genetik rakyat Palestina. Dampak dari genosida yang berkelanjutan ini tidak hanya membunuh mereka yang dibom hari ini, tetapi juga mewariskan trauma dan penyakit kepada anak cucu yang belum lahir.
Penelitian ilmiah terbaru menimbulkan kekhawatiran serius: toksin tak terlihat dari bom Israel yang dilepaskan ke udara Gaza, ditambah dengan trauma psikologis ekstrem dan kekurangan nutrisi kronis, menyebabkan perubahan ireversibel pada sel-sel Palestina di tingkat molekuler.
Ini adalah fenomena yang dikenal sebagai warisan epigenetik. Sebuah pertanyaan penting muncul: mungkinkah dampak perang, stres, dan paparan racun diwariskan secara biologis?
Dari Trauma Menjadi DNA: Apa Itu Epigenetik?
Mengutip laporan The New Arab (TNA), kemarin genetika tradisional mengajarkan bahwa sifat diwariskan melalui transmisi DNA. Namun, ilmu pengetahuan modern telah menemukan lapisan kontrol genetik lain: epigenetika. Epigenetika adalah mekanisme yang dapat menghidupkan atau mematikan gen tanpa mengubah urutan DNA itu sendiri.
Perubahan epigenetik ini dapat dipicu oleh faktor lingkungan yang ekstrem, seperti stres psikologis parah yang berkepanjangan, malnutrisi dan kekurangan gizi kronis serta paparan polutan dan racun tingkat tinggi. Semua faktor ini telah dialami warga Palestina di Gaza secara terus-menerus selama hampir dua tahun.
Dr. Ahmed Issa, seorang dokter anak dan ahli psikologi anak Palestina, menjelaskan temuan ini dengan mengkhawatirkan. Menurutnya, trauma akibat peperangan berulang tidak hanya meninggalkan konsekuensi sosial dan psikologis, tetapi juga jejak biologis pada gen yang dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental generasi berikutnya. “Anak-anak Gaza tidak hanya mewarisi kesulitan sosial dan ekonomi, tetapi mereka membawa warisan perang dalam DNA mereka,” ujar Dr. Ahmed.
Jejak Biologis Holocaust dan Perang Vietnam
Teori bahwa dampak perang dapat diwariskan diperkuat oleh studi-studi historis. Salah satu studi paling menonjol dilakukan pada anak-anak dan cucu penyintas Holocaust Perang Dunia II. Penelitian menemukan bahwa generasi berikutnya memiliki kadar hormon stres kortisol yang lebih tinggi.
Analisis genetik menunjukkan perubahan epigenetik bertanggung jawab atas tingginya kadar kortisol tersebut, meningkatkan risiko mereka terhadap PTSD (Gangguan Stres Pasca-Trauma). Mereka mungkin tidak mengalami Holocaust, tetapi mereka mewarisi dampaknya.
Contoh lain adalah Perang Vietnam. Penggunaan Agent Orange, herbisida beracun oleh pasukan Amerika pada tahun 1960-an, mencemari tanah dan air selama beberapa dekade. Akibatnya, generasi berikutnya dari rakyat Vietnam lahir dengan mutasi genetik dan cacat lahir seperti spina bifida dan cacat jantung parah.
Jika lebih dari 80 tahun setelah Holocaust para penyintas masih membawa jejaknya dalam DNA mereka, apa yang akan terjadi pada rakyat Gaza yang telah hidup di bawah serangkaian perang yang intens?
Gaza: Laboratorium Terpaksa Perubahan Epigenetik
Gaza kini menjadi laboratorium terpaksa untuk eksperimen perubahan epigenetik. Kombinasi mematikan dari paparan toksin bom, makanan dan air yang terkontaminasi, kurang tidur kronis, dan trauma psikologis merembes ke dalam tubuh warga Palestina di tingkat molekuler.
Dr. Samer Al Khaldi, seorang ahli epigenetika Palestina, menjelaskan bahaya paparan toksin pada ibu hamil. “Menghirup zat-zat ini tidak hanya merugikan ibu, tetapi juga menembus plasenta ke janin, yang dapat menyebabkan mutasi genetik, peningkatan risiko cacat lahir, dan keguguran dini,” katanya.
Kasus seperti Hikmah Noufal, bayi di Gaza yang lahir dengan kelainan wajah parah akibat ibunya terpapar gas beracun dari rudal, menjadi bukti nyata. Um Ahmed, seorang ibu berusia 32 tahun, merasakan dampak trauma tersebut ketika bayinya dalam kandungan menendang lebih keras setelah ia selamat dari serangan udara, dan setelah lahir, bayinya sulit tidur dan terus-menerus menangis.
Paparan racun—seperti logam berat (timbal dan merkuri), karsinogen (dioksin), dan perchlorate dari bahan bakar roket—dapat meningkatkan risiko berbagai jenis kanker di masa depan, terutama kanker darah dan limfoma, yang sudah diamati peningkatannya di komunitas yang sering dibom. Seringkali, kanker ini baru berkembang puluhan tahun kemudian, yang berarti anak-anak Gaza yang terpapar hari ini mungkin baru akan menderita ketika mereka mencapai usia dewasa.
Tanggung Jawab Global dan Jalan Menuju Pemulihan
Temuan ilmiah mengenai dampak perang dan genosida pada genetika menghadirkan tanggung jawab baru bagi komunitas internasional. Perang bukan lagi hanya isu politik atau hak asasi manusia, tetapi juga isu biologis.
Rakyat Palestina di Gaza tidak hanya membutuhkan gencatan senjata permanen, tetapi juga rehabilitasi biologis, medis, dan psikologis jangka panjang untuk memulihkan perubahan pada sel-sel mereka.
Kabar baiknya, tidak semua perubahan epigenetik bersifat permanen. Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi nutrisi yang tepat, dukungan psikologis, olahraga, dan lingkungan yang mendukung dapat membantu memitigasi beberapa perubahan genetik ini.
Melalui genosida di Gaza, dunia harus menyadari: perang tidak hanya membunuh mereka yang dibom hari ini, tetapi juga membebani kehidupan mereka yang akan lahir besok. Jika komunitas global gagal bertindak, warisan biologi trauma ini akan terus melukai generasi Palestina di masa depan.






