
Sistem peradilan yang tidak lagi dibebani tumpukan kasus, lebih transparan, dan mampu memberikan keadilan dengan sangat cepat selama ini mungkin hanya impian. GREAT Institute mencoba mewujudkan impian itu dengan membuka cakrawala baru sistem peradilan di Indonesia.
Di tengah gejolak global yang menuntut efisiensi dan keadilan, GREAT Institute, sebuah think tank dan mitra berpikir strategis Presiden Prabowo Subianto, mencoba menyerap pemikiran sosok visioner yang tengah merajut masa depan peradilan. Dia adalah Utkarsh Saxena, PhD, seorang ahli kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam hukum pidana dari Oxford University.
Saat peluncuran lembaga pemikir yang mengusung keberanian intelektual dan integritas riset Juni lalu, Saxena berbicara pada acara kuliah umum bertajuk GREAT Lecture. GREAT Institute yang digagas Dr. Syahganda Nainggolan saat itu mendengarkan pandangan Saxena mengenai sistem peradilan yang bersih, berbasis teknologi tercanggih.
Membawa pemikiran Saxena ke Indonesia tentu bukan tanpa alasan. Latar belakang dan rekam jejaknya yang mentereng, digabungkan dengan fokus penelitiannya pada AI untuk reformasi hukum, menjadikannya figur yang sangat relevan untuk konteks Indonesia saat ini.
Siapakah Utkarsh Saxena? Ia bukanlah sekadar akademisi yang berteori di menara gading. Perjalanan membentuk sosoknya menjadi perpaduan langka antara praktisi hukum berpengalaman dan ilmuwan teknologi canggih.
Berawal dari bangku kuliah hukum di University of Delhi, India, Saxena kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di dua institusi paling bergengsi di dunia, Harvard Law School (LLM) dan Harvard Kennedy School (MPA/ID). Di sinilah pondasi pemikiran lintas disiplinnya terbentuk, mengkombinasikan hukum dengan kebijakan publik dan ekonomi pembangunan.
Puncak pendidikannya saat ini adalah program PhD dalam Kebijakan Publik di Oxford University, yang ia mulai sejak September 2022. Tesisnya di Harvard Kennedy School menjadi cikal bakal riset doktoralnya yang berfokus pada analisis empiris beban kasus di Mahkamah Agung India.
Namun, yang membuat profilnya kian menarik adalah pengalaman praktisnya. Sejak 2012, Saxena telah menjadi pengacara di pengadilan India, terlibat dalam kasus-kasus krusial, termasuk persidangan pernikahan sesama jenis di Mahkamah Agung. Ia pernah memimpin tim yang mewakili terpidana mati dan anak di bawah umur yang diadili, menunjukkan komitmennya pada isu hak sipil dan keadilan fundamental. Pengalaman di World Bank dan Boston Consulting Group juga memberinya perspektif global dan keahlian konsultasi strategis.
Terbaru, Saxena adalah Co-Founder & CEO dari Adalat AI, sebuah organisasi teknologi hukum nirlaba yang ia dirikan pada 2024. Adalat AI bertekad mengurangi tumpukan kasus, khususnya di India, dengan memberdayakan pekerja yudisial dan meningkatkan kesetaraan sistem peradilan menggunakan solusi kecerdasan buatan. Teknologi mereka telah diterapkan di ribuan pengadilan, membuktikan efektivitas AI dalam mempercepat penanganan kasus.
Wacana Saxena Bermanfaat bagi Indonesia?
GREAT Institute mengundang Saxena sebagai pembicara bukan hanya relevan, tapi keahliannya sangat cocok dengan lanskap sosial, politik, hukum, dan teknologi di Indonesia. Misalnya saja dalam reformasi sistem peradilan dan efisiensi hukum. Tumpukan kasus di Indonesia, seperti India, menghadapi masalah antrean panjang di berbagai tingkat peradilan.
Di India, terdapat 50 juta kasus pidana yang tertunda, dan akan membutuhkan waktu 300 tahun untuk menyelesaikan setiap kasus. Sementara di Indonesia, pada 2024, beban perkara yang ada di pengadilan tingkat pertama seluruh Indonesia mencapai 2.991.747 perkara. Sementara Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pernah mengatakan pada 2022 lalu satu kejahatan di Indonesia terjadi di setiap 2 menit 2 detik.
Tentu saja pengalaman penggunaan AI di sektor pengadilan di India ini akan sangat berguna bagi Indonesia. Pada 2024, Saxena bersama Adalat AI mengembangkan perangkat berbasis AI untuk mengatasi penundaan dan inefisiensi di pengadilan di India. Perangkat ini dapat mempersingkat waktu persidangan hingga 30-50% dan telah diterapkan di 20% ruang sidang di India.
Teknologi AI dapat menganalisis data kasus, memprediksi tren, dan mengotomatisasi tugas-tugas administratif dapat menjadi kunci untuk mempercepat proses hukum tanpa mengorbankan kualitas.
Sistem ini juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Lewat AI, potensi bias dalam putusan atau proses bisa lebih mudah dideteksi. Ini sejalan dengan tuntutan masyarakat Indonesia akan peradilan yang lebih bersih, transparan, dan bebas dari praktik KKN. Selain itu akan meningkatkan aksesibilitas keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang selama ini terhambat birokrasi dan biaya tinggi.
Dari Saxena tentu Indonesia bisa melihat bagaimana AI dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan yang cerdas, berbasis bukti (evidence-based policy), dan prediktif. Misalnya, AI bisa membantu menganalisis pola kejahatan di suatu wilayah untuk merancang program pencegahan yang lebih efektif, atau mengevaluasi dampak kebijakan baru sebelum diterapkan.
Teknologi AI Bisa Menjadi Solusi Bidang Peradilan
Pengalaman Utkarsh Saxena tentu sangat tepat untuk berbicara dan memberikan solusi di beberapa area spesifik di Indonesia. Seperti optimalisasi penanganan kasus korupsi dengan penggunaan AI yang dapat membantu KPK atau Kejaksaan dalam menganalisis data keuangan, profiling risiko, atau melacak aliran dana mencurigakan untuk mempercepat proses penyelidikan dan penuntutan kasus korupsi yang kompleks.
Selain itu dalam perkara ringan seperti sidang tilang lalu lintas, penggunaan teknologi AI juga dapat membuat lebih efisien. Mungkin AI digunakan untuk mengotomatisasi proses administrasi dan persidangan kasus-kasus ringan untuk mengurangi beban pengadilan dan waktu yang terbuang.
Pemanfaatan AI juga bisa dilakukan untuk analisis data narapidana, prediksi risiko residivisme, atau optimasi program rehabilitasi di lapas yang seringkali overcrowded. Ini seperti menerapkan manajemen data di Lembaga Permasyarakatan.
Yang juga lebih penting tentu saja melakukan upaya pencegahan kejahatan berbasis data. AI dapat digunakan untuk menganalisis data kriminalitas dari kepolisian untuk mengidentifikasi hotspot kejahatan, pola modus operandi, dan merancang strategi patroli yang lebih efektif.
Indonesia memang sedang gencar mengembangkan ekosistem digital dan AI. Namun tetap jangan dilupakan bahwa, implementasi AI juga memunculkan tantangan etika, privasi data, dan bias algoritmik.
Pemerintah perlu menyusun kerangka tata kelola AI yang kuat, memastikan bahwa teknologi digunakan secara bertanggung jawab dan adil, khususnya di sektor sensitif seperti hukum. Pemerintah harus menyusun regulasi yang komprehensif terkait penggunaan AI di sektor publik dan swasta, dengan mempertimbangkan aspek hukum, etika, dan sosial.
Dengan pemikiran tajam dan pengalaman praktis dari seorang ahli seperti Utkarsh Saxena, harapannya GREAT Institute dapat membuka cakrawala baru bagi upaya Indonesia dalam membangun sistem peradilan yang bersih, adil, dan adaptif terhadap kemajuan teknologi, mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.






