Gunung Semeru Meletus, Mengapa Menerjang Lumajang?
Kawah yang akrab disebut Jonggring Saloko masih sangat aktif. Bahkan kadang sering “batuk” dan bisa berlangsung setiap hari. Walaupun sering “batuk” namun bukan berarti tidak berbahaya. Kendati semburan awan panasnya tidak menggelegar namun dari kawah Jonggring Saloko seringkali meluncur gas beracun yang umumnya terdiri dari material belerang dan sebagainya.
JERNIH – Gunung Semeru meletus sebenarnya sudah terjadi berkali-kali. Gunung tertinggi di pulau Jawa ini termasuk gunung aktif tipe A. Artinya, gunung dengan ketinggian 3.676 mdpl (meter di atas permukaan air laut) ini masih menghasilkan magma dan kemungkinan meletus atau erupsi masih tinggi. Gunung api tipe ini minimal pernah mengalami letusan sekali sejak tahun 1600.
Gunung Semeru sendiri memiliki dua puncak. Puncak pertama yang tertinggi adalah puncak Mahameru. Puncak inilah yang ditetapkan sebagai atap pulau Jawa. Puncak Mahameru sudah tidak aktif dan berupa seperti lapangan pasir yang luar. Berada di sebelah selatan yang lebih rendah dari puncak Mahameru terdapat kawah aktif yang menyemburkan material erupsi pada Sabtu (4 Desember).
Kawah yang akrab disebut Jonggring Saloko masih sangat aktif. Bahkan kadang sering “batuk” dan bisa berlangsung setiap hari. Walaupun sering “batuk” namun bukan berarti tidak berbahaya. Kendati semburan awan panasnya tidak menggelegar namun dari kawah Jonggring Saloko seringkali meluncur gas beracun yang umumnya terdiri dari material belerang dan sebagainya. Gas ini lah yang sering membahayakan dan ia bisa menebar bahkan ke arah puncak Mahameru.
Kematian Soe Hok-gie dan Idhan Lubis pada 16 Desember 1969 diduga kuat karena menghirup gas beracun. Efeknya kedua pendaki ini kejang-kejang sebelum kemudian menghembuskan nafas terakhir.
Kubah puncak Semeru berbentuk kerucut atau strato. Kubah ini terjadi sebagai akibat letusan dan lelehan yang terjadi secara terus-menerus dan bergantian. Kemudian ini membentuk suatu suatu kerucut yang lerengnya berlapis-lapis akibat letusan-letusan sebelumnya.
Jika dilihat dari kejauhan, kubah gunung Semeru tampak gersang tanpa vegetasi tetumbuhan. Benar, vegetasi hijau mengepung di bawah sampai kira-kira di ketinggian 3.200 mdpl. Selebihnya campuran tanah, pasir dan bebatuan. Pemandangan ini bisa dilihat dari arah jalur pendakian, khususnya ketika sampai di kaki menjelang pendakian ke puncak atau tepatnya di hutan Jambangan. Atau dari utara Semeru.
Sementara jika berada di selatan atau di kawasan kabupaten Lumajang yang tampak adalah kawah Jongring Saloko. Dari kawah ini menjulur beruntai-untai jurang yang mengarah ke selatan. Untaian ini tak lain adalah jalan lahar yang dikeluarkan dari puncak Jonggring Saloko, kemudian dibuang ke arah selatan melalui beberapa desa di kabupaten Lumajang.
Panorama Semeru jauh lebih indah dipandang di sekitar Pronojiwo hingga Candipuro. Dan titik paling bagus ada di kawasan Piket Nol. Kalau mau lebih dekat lagi ada desa Oro-oro Ombo.
Letusan yang terjadi Sabtu lalu polanya sama seperti letusan sebelumnya. Awan panas vulkanik membubung ke udara dan terdorong kea rah selatan. Seperti pula aliran lahar yang memasuki sungai-sungai di bawahnya dan terus terbuang ke pantai selatan. Tentu saja sebelum itu melewati kali Regoyo di mana terdapat jembatan gantung Sumberwuluh.
Dengan posisi kawah Jonggring Saloko yang cenderung ke selatan itulah maka tak heran bila kawasan yang paling terdampak adalah Lumajang. (*)