SolilokuiVeritas

Rumini: Kisah Tentang Kasih Anak dan Ibu

Kini kita hanya bisa mengira-ngira mengapa itu yang jadi opsi yang diambil Rumini. Barangkali karena selama ini pun Rumini tahu dan merasakan juga cinta kasih sang ibu. Orang bilang, ibu—siapa pun itu– memiliki cinta altruistik yang tanpa pamrih. Kasih yang—menurut lagu yang kita dendangkan di masa kecil–“tak harap kembali…”

JERNIH—“… ada yang jatuh tersungkur

sebagai syahid. Ruhnya yang harum dijemput Malakal Maut

Lantas disambut para malaikat lainnya

Mengarak mengarah

Allah..

Sementara jasadnya yang wangi. Dipeluk mesra bumi ini

Langit berlinang. Menunduk duka

Butir-butir airmatanya

Menyirami pusara….”

Darmawan Sepriyossa

Saya kontan teringat petikan puisi alm KH Endang Saifuddin Anshari itu, segera setelah membaca sebuah tulisan viral di media sosial tentang Rumini. Nama yang sederhana. Pribadi desa yang bersahaja, yang dengan sederhana pula ia merangkul surga menjadi haknya: memeluk ibu yang dengan kasih dan darah telah melahirkan dan membesarkannya. Mengajaknya bersama menuju sorga.

Sebagaimana dinyatakan Bayu Gawtama, relawan yang menulis di medsos dan membuat Rumini kita kenal, kita semua memang harus belajar kepada gadis itu tentang cinta dan mencintai ibu. Rumini, gadis di usia dewasa itu, bisa saja meninggalkan ibunya, lari menghindari muntahan abu panas Gunung Semeru yang pada 4 Desember lalu kembali batuk-batuk.

Tak ada seorang pun yang akan menyalahkan kalau pun itu yang dilakukannya pada kondisi darurat tersebut. Seorang ibu yang renta, yang lumpuh tak mampu bergerak di usianya yang telah 71 tahun, akan dianggap wajar kalau pun menjadi korban. Desa Rumini dan sang ibu, Curah Kobokan, Lumajang, berada di pangkal kaki Gunung Semeru. Katakan bahkan di paha gunung itu. Jadi manakala kiamat kecil berupa hujan abu, batu-batu dan awan panas itu menerjang permukiman, sangat wajar semua orang akan terpojok untuk berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Saling lupa siapa kepada siapa, saat itu hal yang alami dan wajar. Semua pastinya nafsi-nafsi

Persis sebagaimana Surat Al-Hajj ayat 1-2, dan sekian banyak surat lainnya di Al-Quran tentang hal itu.

“…. Ingatlah pada hari ketika kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui anaknya, berlepas dari anak yang disusuinya, dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk,….”

Tetapi kita kemudian tahu, Rumini tidak memilih lari. Orang nyinyir bisa menyebut Rumini memang sudah tak punya pilihan. Tidak. Pilihan selalu terbentang, bahkan di benak seseorang yang sempat merasa tak lagi punya jalan keluar. Kebiasaan, nurani, yang biasanya dominan di saat terjepit. Dalam kasus Rumini itu artinya bagaimana hubungannya selama ini dengan sang ibu.

Jadi manakala Rumini memilih mendekap ibunya manakala maut yang datang dalam gemuruh itu menderu, jelas itulah pilihan sadar. Pilihan Rumini, yang barangkali sempat ditolak ibunya. Kita tak akan pernah tahu. Di dapur, tempat yang paling hidup di rumah-rumah perdesaan itulah mereka saling mendekap, saling menunjukkan cinta, saling berusaha menjaga, lalu terbang bersama menuju Sang Maha.

Kini kita hanya bisa mengira-ngira mengapa itu yang jadi opsi yang diambil Rumini. Barangkali karena selama ini pun Rumini tahu dan merasakan juga cinta kasih sang ibu. Orang bilang, ibu—siapa pun itu– memiliki cinta altruistik yang tanpa pamrih. Kasih yang—menurut lagu yang kita dendangkan di masa kecil–“tak harap kembali…”

Cinta yang konon pula hanya bisa digambarkan sebagai nyala lilin sebagai metafora: kasih yang seolah meniscayakan tumbal. Demi terang, sang lilin harus meleleh hancur, menuju padam.

Barangkali laiknya pohon dengan ulat nakal. Ibu adalah pohon yang membiarkan daunnya dimakan ulat, agar ulat tersebut besar berkembang, hingga mengepompong dan akhirnya tumbuh menjadi kupu-kupu yang cantik. Adakah kebaikan keberadaan ulat bagi pohon? Mungkin kita harus mencari dengan teliti untuk menemukannya. Misalnya, mungkin saja suatu saat kupu-kupu itu akan mengawinkan bunga-bunga pohon itu, hingga terbentuklah manfaat lain: buah. Tetapi jelas tak ada garansi bahwa si ulat pemakan daun akan mengawinkan bunga-bunga di pohon yang sama.

Pengorbanan seorang ibu bahkan sampai pada sisi spiritual, saat ia harus merelakan waktu-waktu bercengkerama dan bermunajatnya kepada Allah hilang, demi mengurus dan membesarkan anak. Demi anak—terutama saat bayi—ia rela kehilangan keindahan-keindahan spiritual berhubungan dengan Allah, lewat ibadah.

Jika kita menghitung-hitung secara logis, tampaknya fungsi keibuan adalah fungsi yang paling dipenuhi derita. Jumlahkan beban derita fisik dan psikis seorang ibu yang harus mengandung dan melahirkan. Usai melahirkan, ia masih harus merasakan perihnya puting yang lecet karena menyusui, dan letihnya mengeloni bayi setiap malam. Kesusahan itu tidak berhenti seiring berkembangnya bayi, menjadi anak, menjadi anak remaja, menjadi orang dewasa. Hanya bentuknya saja yang berubah.

Tetapi kita pun tahu, kasih ibu juga yang banyak membuat keajaiban. Misalnya, kasih ibu yang membikin Syamsul Anwar Harahap, yang mengalami kelumpuhan tangan di masa kanak-kanak justru bisa menjuarai lomba lari cepat di masa kanak-kanak. Di waktu dewasa, kita tahu Syamsul adalah petinju amatir nasional dengan prestasi segudang. Ia juga kita kenal sebagai petinju yang sempat mengalahkan Thomas Hearns, petinju legendaris dunia asal AS.

Setiap malam, menurut pengakuan Syamsul, ibunya sering membacakan kisah Wilma Rudolf, anak yang lumpuh karena polio. Cerita itu membangun jiwa Syamsul dan tekad yang seiring usia, tumbuh membesar dan menguat untuk mengalahkan kekurangannya itu.   

Oh ya, mengapa saya berpanjang-panjang menulis tentang ibu Rumini, bukan hanya sang anak? Karena saya yakin, apa yang dilakukan Rumini di akhir hayatnya adalah cermin sebuah interaksi resiprokal yang telah berlangsung selama ini antara keduanya: sang ibu dan Rumini. Tanpa itu, tak mungkin Rumini akan tegar memeluk ibunya, alih-alih blingsatan menyelamatkan dirinya sendiri. [dsy]

Back to top button