
Meskipun hubungan bilateral masih rapuh, serangan Israel di Doha tampaknya telah mengirimkan pesan yang jelas kepada negara-negara Teluk tentang keterbatasan perlindungan keamanan dari AS. Iran, menurut para ahli, berupaya memanfaatkan celah ini.
JERNIH – Pergeseran dramatis terjadi di jantung politik Timur Tengah. Setelah serangan udara Israel yang menargetkan para pemimpin Hamas di Doha, Qatar, hubungan diplomatik antara rival lama, Iran dan Arab Saudi, tampak semakin hangat.
Puncaknya, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MbS) menyambut langsung Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Ali Larijani, di Riyadh. Kunjungan ini, yang menjadi delegasi Iran tertinggi sejak normalisasi hubungan pada 2023, menandakan babak baru yang penuh arti dalam dinamika regional.
Kunjungan Larijani ke Riyadh—setelah sebelumnya ke Beirut dan Baghdad—menurut seorang diplomat Eropa, adalah “pilar krusial” dalam sebuah strategi besar Iran untuk mengonsolidasikan arsitektur keamanan regional baru. Pertemuan antara pejabat keamanan papan atas dari dua negara yang pernah bermusuhan ini bukan sekadar simbolis, melainkan komitmen nyata untuk meredakan ketegangan.
Agenda diskusi yang mencakup koordinasi keamanan dan energi ini bertepatan dengan meningkatnya ketidakstabilan di kawasan. Kunjungan ini terjadi hanya sehari setelah Presiden Iran Masoud Pezeshkian bertemu MbS di sela-sela KTT Arab-Islam di Doha, yang diselenggarakan sebagai respons atas serangan Israel di Qatar. Meskipun demikian, hubungan ini masih berada dalam “fase yang sensitif” dan diliputi oleh “defisit kepercayaan,” seperti yang dijelaskan oleh Dr. Theodore Karasik dari Jamestown Foundation.
Dari Rival Menjadi Mitra?
Meskipun hubungan bilateral masih rapuh, serangan Israel di Doha tampaknya telah mengirimkan pesan yang jelas kepada negara-negara Teluk tentang keterbatasan perlindungan keamanan dari AS. Iran, menurut para ahli, berupaya memanfaatkan celah ini.
Sebuah perjanjian kerja sama keamanan yang dibuat pada tahun 2001 telah diaktifkan kembali. Larijani bahkan mengonfirmasi bahwa kerja sama pertahanan telah dibahas dan akan ditindaklanjuti melalui “kelompok kerja” yang terorganisir.
Walaupun aliansi pertahanan formal masih dianggap “tidak mungkin” selama AS tetap menjadi mitra keamanan, peluang kerja sama tetap terbuka. Para ahli melihat potensi kolaborasi ini bisa terkait dengan kesepakatan nuklir Pakistan dengan Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, yang mungkin akan masuk dalam kerangka keamanan regional di masa depan.
Peluang dan Tantangan di Tengah Gejolak Timur Tengah
Di luar isu keamanan, kedua negara juga menunjukkan peningkatan kerja sama ekonomi. Ekspor Iran ke Arab Saudi meningkat hampir 99% pada tahun 2024. Namun, para ahli seperti Dr. Sinem Cengiz dari Qatar Gulf Studies Center, mengingatkan bahwa meskipun ada niat politik yang kuat, langkah-langkah praktis masih minim. Kedua belah pihak perlu melembagakan kerja sama melalui komite bilateral tetap untuk isu perdagangan, keamanan, dan lingkungan.
Perkembangan ini menandakan bahwa Iran dan Arab Saudi mungkin telah beralih dari persaingan murni menjadi sebuah “sistem manajemen konflik” yang baru. Dengan Israel yang muncul sebagai ancaman yang lebih nyata bagi kepentingan negara-negara Teluk, “momen GCC-Iran” tampaknya sedang terbentuk.
Jika momentum ini dapat dipertahankan, tentu berpotensi menjadi fondasi bagi hubungan yang stabil, membuka jalan bagi dinamika kerja sama yang lebih luas, bahkan melibatkan Pakistan dan Tiongkok.






