Crispy

Israel Memecahkan Rekor Pembunuhan Anak-anak Palestina di Tepi Barat

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), satu dari setiap lima warga Palestina yang tewas oleh pasukan Israel di seluruh Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, pada tahun 2025 adalah anak-anak.

JERNIH – Keluarga Jad Jihad, seorang remaja berusia 14 tahun dari kamp pengungsi al-Far’a di Tubas, Tepi Barat bagian utara, sangat terpukul ketika melihat video dirinya ditembak oleh tentara Israel pada tanggal 16 November.

Video tersebut, yang beredar luas di media sosial, menggambarkan bocah itu, setelah ditembak di kaki, bergerak di tanah dan mengangkat kepalanya beberapa kali. Para tentara berdiri di sekitar Jad, menyaksikan dia berdarah, membiarkannya bahkan mencegah ambulans untuk sampai kepadanya.

Setelah satu jam, dengan Jad masih berdarah, para tentara berkumpul di sekelilingnya dan membawanya ke lokasi yang tidak diketahui. Kemudian datanglah kabar mengejutkan bagi keluarga: Jad telah meninggal karena luka-lukanya.

Menurut laporan dari Shireen Observatory, sebuah pusat statistik sukarela yang dijalankan para jurnalis kolega Shireen Abu Akleh, seorang jurnalis Palestina-Amerika yang dibunuh Israel, militer zionis itu membunuh 51 anak di Tepi Barat yang diduduki selama tahun 2025, menjadikannya tahun paling mematikan bagi anak-anak Palestina. Selain itu, Israel menahan jenazah 17 anak yang tewas sejak awal tahun ini, dan menolak untuk mengembalikannya kepada keluarga mereka.

Qusay, saudara laki-laki Jad, mengatakan kepada The New Arab bahwa saudaranya sedang bermain biliar dengan teman-temannya di sebuah klub ketika tentara Israel menyerbu kamp tersebut. Jad mencoba pulang, tetapi sebelum dia sampai di rumah, tentara mengepungnya dan menembaknya dari jarak dekat.

Ia tertembak di kaki dan jatuh ke tanah. Warga kamp dapat melihatnya dari atap rumah, termasuk ibunya, yang mengenalinya dari pakaiannya. Ia menyaksikan anaknya menggeliat kesakitan di tanah, tak mampu menjangkaunya, sambil menangis tersedu-sedu.

“Ketika para tentara memindahkannya, kami merasa lega, mengira mereka akan memberinya perawatan medis setelah mencegah ambulans Palestina menjangkaunya selama lebih dari satu jam. Namun sayangnya, kami salah. Dia mengalami pengabaian medis yang disengaja hingga napas terakhirnya,” tambah Qusay.

Hal lain yang menyakitkan keluarga adalah penahanan jenazahnya yang terus berlanjut tanpa alasan yang jelas setelah pembunuhan itu. Israel menolak menyerahkan jenazah kepada keluarganya tanpa memberikan penjelasan apa pun. Ini juga termasuk mencegah keluarga untuk melihat jenazah atau bahkan mengetahui lokasinya.

“Tidak bisa mengucapkan selamat tinggal kepadanya dan tidak memiliki makam untuk dikunjungi dan mengenangnya sangat menyakitkan bagi kami, terutama bagi ibu saya. Dia menangis siang dan malam dan hanya membicarakan Jad. Penolakan mereka untuk menyerahkan jenazahnya membuat kami merasa mereka berbohong tentang kematiannya. Tetapi bagaimana jika dia benar-benar meninggal? Bagaimana jika dia masih hidup? Seribu pertanyaan menghantui kami,” pungkasnya.

Jad adalah sosok yang dicintai di kamp, ​​periang dan energik, senang membantu orang, terutama para lansia, membelikan barang-barang dan menolak imbalan apa pun. Teman-temannya biasa berdiri di depan rumahnya memanggilnya, tetapi sekarang mereka mengalami  kesedihan mendalam, karena telah kehilangan dia selamanya.

Emily Wight, Manajer Media Global di Save the Children, mengatakan kepada TNA bahwa tren umum peningkatan kekerasan dari tentara dan pemukim Israel secara signifikan berdampak pada anak-anak. Ini termasuk penahanan militer, penghancuran rumah, penggusuran keluarga, pelecehan oleh pasukan Israel atau pemukim , dan intimidasi, termasuk dalam perjalanan ke dan selama sekolah.

Menurut OCHA, antara 7 Oktober 2023 dan 11 November 2025, 995 warga Palestina — termasuk setidaknya 219 anak-anak — tewas di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Satu dari setiap lima warga Palestina yang tewas oleh pasukan Israel hingga pada tahun 2025 di seluruh Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, adalah anak-anak, menurut PBB.

“Anak-anak di seluruh Tepi Barat juga menghadapi ancaman terhadap pendidikan mereka, dengan pembatasan pergerakan yang terus berlanjut dan kekerasan dari pasukan militer Israel dan para pemukim,” kata Wight.

Baru dua minggu yang lalu, Save the Children terpaksa menghentikan kelas pendidikan remedial dan pekerjaan perlindungan anak, termasuk dukungan kesehatan mental, di beberapa wilayah Tepi Barat bagian utara yang diduduki. Akibatnya, dukungan penting tidak dapat diakses oleh lebih dari 700 anak.

“Sejak awal 2025, situasi kemanusiaan di Tepi Barat telah memburuk secara signifikan. Pasukan Israel dan para pemukim membongkar dan menghalangi bantuan kemanusiaan yang vital. Pembatasan bantuan, kekerasan pemukim, pembongkaran, perampasan tanah, dan penghancuran infrastruktur penting, termasuk infrastruktur yang didanai donor, menciptakan lingkungan yang memaksa yang membuat kehidupan sehari-hari tidak layak bagi masyarakat Palestina,” tambahnya.

“Lebih banyak resolusi saja tidak cukup — anak-anak dan keluarga Palestina membutuhkan tindakan. Tanpa kepatuhan terhadap hukum internasional, anak-anak Palestina akan terus dirampas hak dan keselamatannya,” tambahnya.

Tragedi lain menimpa keluarga Abu Seifen dari kota Yamoun, sebelah barat Jenin, pada tanggal 6 November. Murad Abu Seifen yang berusia lima belas tahun sedang dalam perjalanan membeli obat untuk ayahnya dari apotek ketika tentara Israel tiba-tiba menyerbu kota itu.

Beberapa tentara mengepung bocah itu di dekat apotek dan menembaknya tiga kali, tepat di kepala. Dia jatuh ke tanah, berdarah deras. Saudaranya, Fadi, mengatakan kepada TNA bahwa seorang pemilik toko setempat menunjukkan kepada mereka sebuah video direkam kamera keamanan toko yang menggambarkan para tentara mengeksekusi saudaranya. Setelah ditembak, enam tentara mengepungnya dan menembakkan peluru keempat ke kepalanya sebelum dia meninggal. Kemudian mereka membawa alat peledak, meletakkannya di atas tubuhnya, dan meledakkannya tanpa alasan yang jelas.

Kemudian, tentara menyerbu toko tersebut dan menghancurkan semua isinya, termasuk kamera keamanan. Mereka menuntut pemilik toko menyerahkan semua rekaman di bawah ancaman, dalam upaya untuk menutupi kejahatan mereka, meskipun video tersebut belum tersebar luas dan hanya dilihat oleh anggota keluarga.

Murad tergeletak di tanah selama satu jam setelah ditembak dan dibunuh, tanpa ada petugas paramedis yang diizinkan untuk menjangkaunya. Para tentara kemudian membawa jenazahnya ke lokasi yang tidak diketahui dan masih menahannya tanpa alasan yang jelas.

“Murad adalah anak bungsu dalam keluarga, dan semua orang menyayanginya. Ia memiliki masa kecil yang bahagia. Semua saudara kandungnya setidaknya 15 tahun lebih tua darinya, jadi dia adalah anak yang paling istimewa di rumah. Tapi mereka mengambilnya dari kami dan membunuhnya tanpa alasan,” tambah Fadi.

Keluarga merasa ini semua seperti mimpi buruk. Belum ada konfirmasi kematiannya karena jenazahnya ditahan, dan keluarganya dilarang melihatnya.

Dari 761 warga Palestina yang dibunuh oleh Israel dan jenazahnya ditahan oleh otoritas Israel, 74 di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Data dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) menunjukkan bahwa tahun 2025 menyaksikan peningkatan yang berbahaya dalam jumlah anak-anak Palestina yang tewas akibat kekerasan Israel atau pemukim di Tepi Barat yang diduduki. Ratusan lainnya terluka, banyak di antaranya akibat peluru tajam.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pembunuhan dan pencederaan pada anak-anak tidak terjadi dalam konteks pertempuran atau baku tembak, melainkan selama operasi penangkapan, penggeledahan, atau apa yang dikenal sebagai “penegakan hukum militer.”

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang sejauh mana hukum humaniter internasional dan hak atas perlindungan bagi warga sipil, khususnya anak-anak, dihormati di wilayah pendudukan.

Khaled Quzmar, Wakil Presiden Defence for Children International, mengatakan kepada TNA bahwa apa yang mereka dokumentasikan di Tepi Barat menunjukkan bahwa peningkatan pembunuhan anak-anak adalah akibat dari kebijakan memberikan kebebasan bertindak kepada tentara dan pemukim Israel, tanpa akuntabilitas atau pengawasan.

“Kita melihat cerminan dari hal ini dalam jumlah besar anak-anak yang menjadi martir dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hak hidup anak-anak Palestina tidak lagi dijamin dan secara sistematis dilanggar tanpa pertanggungjawaban apa pun, meskipun Israel berkewajiban untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak. Israel tidak hanya gagal memenuhi peran ini tetapi juga memberikan perlindungan bagi para pelaku,” jelas Quzmar. Hak untuk hidup adalah hak mendasar yang diperjuangkan oleh anak-anak di Palestina , menurut gerakan Defence for Children International. Seperti di Afrika, tantangan kelaparan dan kemiskinan

Back to top button