Jacinda Ardern, dari Meja Kasir ke Kursi Perdana Menteri
- Jajak pendapat menempatkan Jacinda Ardern sebagai pemimpin paling bisa dipercaya. Siapa yang tak bisa dipercaya?
- Ia melahirkan bayi saat memimpin negara, dan membungkam pengkritiknya.
- Ardern kini bertarung untuk periode kedua pemerintahannya, dan dia bukan pemimpin tanpa cela.
Morrinsville — Suatu malam di kota kecil Morrinsville. Beberapa penduduk antre di meja kasir Golden Kiwi, kedai makanan, untuk membayar bingkisan ikan dan kentang goreng yang mereka beli.
Kasir, dengans senyum selalu mengembang, melayani mereka satu per satu. Kini, sang kasir tidak lagi melayani pembeli di Golden Kiwi, tapi melayani seluruh penduduk Selandia Baru dengan posisinya sebagai perdana menteri.
Ardern, kini berusia 40 tahun, tidak hanya terkenal di negaranya tapi juga dunia. Selama tiga tahun menjabat ia menjadi berita utama, karena dua hal; masih sangat muda, dan melahirkan saat memimpin negara.
Lainnya, ia menangani kasus pembantaian Muslim di sebuah masjid di Chrischurch dengan hati. Terakhir, bertindak cepat menahan pandemi virus korona.
Ardern menghiasi sampul majalah Vogue, Time, dan dikunjungi host TV terkenal Stephen Colbert ke rumahnya di pinggiran Auckland, ibu kota Selandia Baru.
Tahun 2019, Ardern menempati posisi teratas sebagai politisi paling bisa dipercaya dalam survei yang digelar lembaga di Australia. Saat ini, dia bertarung untuk periode kedua jabatannya.
Pemilihan umum Selandia Baru akan digelar 17 Oktober 2020. Jajak pendapat menempatkannya sebagai salah satu pemimpin paling populer di Selandia Baru.
Pertanyaannya, apakah dia akan menang? Dan, apakah partainya akan membuat sejarah dengan menjadi yang pertama mengamankan kekuasaan di bawah sistem politik saat ini?
Ardern bukannya tanpa pencela. Pengkritiknya mengatakan dia tidak berbuat banyak mewujudkan pemerintahan transformasional yang dijanjikan tiga tahun lalu.
Beberapa lawannya berasal dari Morrinsville, tempat dia dibesarkan dan bekerja sebagai kasir.
Morrinsvill lebih dikenal sebagai penghasil susu dibanding kota kecil yang membesarkan seorang perdana menteri. Padang rumput hijau yang subur berhias sapi perah perlahan-lahan digantikan rumah papan cuaca satu lantai di belakang pagar kayu pendek, yang kelak menjadi toko pasokan pertanian dan gerai traktor.
Di jalan utama, patung sapi warna-warni menghiasi trotoir. Sebanyak 8.000 penduduk Morrinsville adalah peternak sapi perah, yang berkontribusi pada ekspor terbesar negara itu.
Secara historis, petani cenderung memilih Partai Nasional yang pro-bisnis, begitu pula Morrinsville. Di kuru Partai Nasional inilah Ardern menjalani tahun-tahun pembentukan diri.
Pandai Bicara
Lahir tahun 1980 dari orang tua penganut Mormon, Ardern menghabiskan tahun-tahun pertama hidupnya di Murupara, kota kecil tepi hutan yang tertekan secara ekonomi di Bay of Plenty.
Arnern, dalam pidato perdananya di parlemen, mengangkat isu pengangguran yang tersebar luar di Murupara. Beberapa pengangguran putus asa, dan bunuh diri.
Saat kecil, Ardern dan saudara perempuannya diasuh seorang gadis. Pengasuh itu menguning karena hepatitis, virus yang sangat umum di Selandia Baru.
Tahun 1980-an, keluarga Ardern pindah ke Morrinsville — 160 kilometer dari Murupara. Ayah Ardern bekerja sebagai petugas polisi kota, dan ibunya berprofesi sebagai juru masak di sekolah.
Saat berusia 14 tahun, Ardern membantu orang tua dengan bekerja sebagai kasir di Golden Kiri. Ia melakukan itu di luar jam sekolah.
John Walsh, seorang petani Morrinsville, masih ingat bagaimana Ardern berbicara di depan orang banyak. “Dia selalu menjadi pembicara yang baik. “Saya masih suka ke Golden Kiwi, dan terkenang cara Ardern melayani.”
Kecakapan berbicara itulah yang membuat meraih kemenangan politik pertama sebagai seorang siswi pada 1990-an.
Ardern adalah perwakilan siswa untuk dewan pengawas di Morrinsville College, sekolah menengah kecil dengan murah warna-warni dan lapangan rumput yang didedikasikan untuk olahraga rugby.
Ia meyakinkan dewan untuk mengubah aturan seragam, yang membuat anak-anak perempuan dapat mengenakan celana pendek. “Saya ingat kita berada di zaman kita,” kata John Inger, yang menjadi kelapa sekolah Morrinsville College saat Ardern menempuh pendidikan.
Kini, Inger masih memimpin sekolah itu. Ia masih ingat bagaimana Ardern berbicara. “Tidak diragukan lagi, di tengah komunitas pedesaan sangat konservatif, kami mengangkat alis ketika Ardern berbicara,” katanya.
Ardern remaja, menurut Inger, cerdas, pandai bciara, ceria, dan persuasif. Lebih hebat lagi, di usia remaja Ardern telah memperlihatkan rasa keadilan yang kuat.
“Dia pemenang kompetisi pidato, pendebat yang tajam, dan anggota Amnesti Internasional sekolah,” kenang Inger. “Dia mengadvokasi hak asasi manusia.”
Jika ada yang buruk pada diri Ardern, menurut Inger, mungkin hanya kemampuan olahraga yang kurang. Namun, Ardern bukan tidak pernah mencobanya.
Menolak Alkohol
Berbeda dari remaja lain, Ardern tidak minum alkohol. Bukan sesuatu yang aneh. Dia dari keluarga penganut Mormon, yang menolak alkohol.
“Dia dihormati, sehingga tidak ada rekan yang memaksanya minum alkohol,” kata Inger.
Gregor Fountain, mantan guru IPS-nya, mengatakan; “Arden selalu tersenyum lebar dengan siapa saja. Dia populer, tapi tidak keren.”
Ardern terjun ke politik usia 18 tahun, yang membuatnya harus berangkat ke Wellington. Hanya di kota besar seseorang ditempa sebagai politisi.
Di Wellington, Ardern melanjutkan ke Waikato University dan menempuh pendidikan bidang komunikasi. Ia lulus dengan baik, dan bekerja di kantor Partai Buruh yang saat itu dipimpin Helen Clark, wanita pertama yang menjadi PM Selandia Baru.
Ardern adalah penganut Mormon yang taat, tapi dia mempertanyakan pendirian Gereja Mormon terhadap LGBT. Maklum, saat itu dia tinggal di apartemen bersama tiga teman gay.
“Saya tidak bisa mendamaikan apa yang saya lihat sebagai diskriminasi dalam agama. Agama seharusnya fokus pada toleransi dan kebaikan,” kata Ardern kepada media.
Kalah di Morrinsville
Pada usia 28 tahun, setelah pulang dari London, Ardern mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dari Partai Buruh. Daerah pemilihannya adalah wilayah Waikato, termasuk Morrinsville.
Ia tak beruntung. Waikato terlalu biru, warna Partai Nasional, yang tak pernah beralih ke partai lain dalam seratus tahun.
Ardern kalah. Namun, dia tetap masuk parlemen karena alokasi 49 dari 120 kursi berdasarkan proporsi suara partai. Ia menjadi anggota parlemen termuda.
Tahun 2011, Ardern mewakili Auckland Tengah. Lawannya adalah Nikki Kaye dari Partai Nasional. Ini pertarungan ‘para bayi’. Maklum, keduanya sangat ambisius, dan masih muda.
Ardern kalah 700 suara, atau dua poin presentasi. Namun, dia tetap masuk parlemen, meski bukan anggota terpilih.
Tahun 2014, Ardern kali kedua dikalahkan Kaye. Kali ini selisih suaranya hanya 600. Namun tahun 2017, Ardern memenangkan kursi Partai Buruh, setelah Helen Clark mengundurkan diri.
Pada usia 37 tahun, Ardern memimpin Partai Buruh. Ia menjadi pemimpin termuda partai itu.
Tahun 2017, Ardern menjadi pemimpin termuda dalam 150 tahun Selandia Baru, setelah Partai Buruh berkoalisi dengan partai-partai kecil. Ia juga menjadi pemimpin termuda di dunia.
Fountain mendengar berita itu, dan berpikir bagaimana Ardern bertengkar dengan mitra koalisinya selama berkuasa. “Bagaimana mungkin Ardern menjadi perdana menteri, dan akan terus-menerus bertengkar,” kenang Fountain.
Kekhawatiran Fountain tak terbukti. Ardern selalu bisa mengatasi kesulitan politik, termasuk saat dia melahirkan bayi dan harus absen dari kursi perdana menteri.