Crispy

Jepang Menyangkal Pembantaian Nanjing, Media Tiongkok Mencak-mencak

  • Kelompok sayap kanan Jepang menyebut Pembantaian Nanjing adalah tipuan sejarah yang dirancang Tiongkok.
  • Tiongkok mengatakan buku harian misionaris Kristen; Minnie Vaultrin dan diplomat Jerman; John Rabe, adalah bukti tak bisa disangkal.

JERNIH — Tiongkok dan Jepang ribut lagi soal Nanjing Masaccre, atau Pembantaian Nanjing 13 Desember 1937– satu episode kelam dala sejarah Tiongkok ketika Jepang merebut Nanjing, saat itu ibu kota Cina, membunuh 300 ribu penduduk dan memperkosa 20 ribu perempuan di jalan-jalan.

Ribut dimulai setelah Senin 25 Agustus Takashi Arimoto — wakil pemimpin redaksi surat kabar Jepang Senkei Shimbun — mengkritik Dead to Rights, film yang berkisah tentang Pembantaian Nanjing. Arimoto menyebut Pembantaian Nanjing adalah tipuan sejarah yang dirancang Tiongkok.

Pernyataan, atau lebih tepatnya penyangkalan, Arimoto muncul jelang pertemuan akbar pada 3 September untuk memperingati 80 Tahun Kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok melawan agersi Jepang dan Perang anti-Fasis Dunia.

Global Times menulis klaim yang mencengangkan dan keterlaluan itu, yang dicirikan oleh mentalitas penyangkalan sejarah Jepang, merupakan upaya menjungkirbalikan konsensus internasional yang telah mapan melalui penafsiran salah yang disengaja.

Sejak dirilis di Tiongkok dan luar negeri, Dead to Rights mendapat sambutan meriah dari penonton di seluruh dunia. Film itu, selain menampilkan babak tergelap dalam perang, juga membuka pintu bagi mereka untuk mempelajari kekejamannya. Apa yang mendorong kekuatan sayap kanan Jepang mencemarkan Dead to Rights? Satu-satunya jawaban adalah ketakutan akan kebenaran yang tersebar.

Kebenaran Pembantaian Nanjing, masih menurut Global Times, didukung bukti-bukti sangat banyak dari berbagai sumber. Minnie Vaultrin, salah satu misionaris Kristen AS yang melindungi 10 ribu pengungsi, adalah salah satunya.

Lainnya adalah John Rabe, diplomat dan pengusaha Jerman yang berupaya menghentikan kejahatan perang Jepang dan melindungi warga sipil Tiongkok selama Pembantaian Nanjing, mencatat semua yang dilihat dalam buku harian.

Lainnya, penuturan penyintas Pembantaian Nanjing menjadi bukti abadi dari sejarah kelam ini.

Pembantaian Nanjing terjadi 40 hari setelah tentara Jepang merebut Nanjing. Pembantaian terjadi di jalan-jalan kota. Jepang tidak hanya membunuh pasukan Tiongkok yang menyerah, tapi juga rakyat sipil.

Petinggi media Jepang menggunakan istilah ‘hoaks sejarah’ sebagai upaya mendistorsi masa lalu yang penuh darah dan kesedihan. Yang lebih meresahkan adalah masyarakat Jepan kurang memahami sejarah bangsanya. Global Times menemukan generasi Jepang saat ini menolak penggunaan kata ‘pembantaian’ ketika membahas kematian massal yang dilakukan tentaranya.

Chen Youjun, profesor di Pusat Penelitian Asia Timur Universitas Shanghai, mengatakan kekuatan sayap kanan Jepang masih menyimpan ingatan kolektif yang ilusif tentang apa yang mereka anggap sebagai Jepang yang kuat selama Perang Dunia II. Penyangkalan sejarah, katan Chen, menyebabkan beberapa orang Jepang gagal membangun pemahaman yang benar tentang sejarah dan nilai-nilai.

Sejak dirilis, Dead to Rights menghadapi serangan keji dari kelompok-kelompok sayap kanan Jepang. Jika tidak terbuka menghadapi dan merenungkan sejarah agresinya dengan sikap jujur, Jepang tidak akan pernah mendapatkan kepercayaan dari negar tetangganya di Asia dan komunitas internasional.

Back to top button