Jus Soema Di Praja: Kecuali Habibie, Pemerintah Indonesia Kerdilkan Kebebasan Pers
Jus mengatakan, sebagai órang lama’ ia merasakan ada paradoks pada situasi pers saat ini. Awak pers, menurutnya, terkesan gampang menyerah dan kehilangan elan untuk menegakkan wibawanya sendiri. Berbeda dengan masa lalu, tampaknya awak pers era kini tidak lagi melihat dirinya sebagai pejuang kebebasan berbicara di dan untuk masyarakat. Ia mencontohkan peristiwa besar demo 212 yang hampir tidak diliput pers arus utama.
JERNIH–Jika masyarakat saat ini merasakan adanya paradoks, yakni terbukanya peluang besar di sisi komunikasi seiring pesatnya perkembangan teknologi di era digital, dengan masih banyaknya aturan pemerintah yang membatasi kebebasan pers, hal tersebut menurut wartawan tiga zaman Jus Soema Di Praja tidaklah mengherankan. Menurut Jus yang sempat dibimbing langsung tokoh pers legendaris, Mochtar Lubis, itu, sejatinya hampir semua pemerintahan di Indonesia membelenggu kebebasan pers.
“Kecuali Habibie, yang meniadakan aturan soal keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), aturan yang benar-benar mencengkeraman kebebasan pers di masa Orde Baru,”kata Jus, saat berbicara di hadapan para undangan diskusi “Pers Indonesia: Dulu, Kini dan Masa Depan”, yang digelar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jakarta, di Resto Petra, Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, Kamis (18/8/2023) sore.
Menurut Jus, melupakan semua kritiknya, yang antara lain tertuang dalam buku fenomenalnya, “Di Bawah Bendera Revolusi”, pada saat berkuasa Bung Karno tak berbeda dengan pemerintah kolonial yang menerapkan aturan persdelict, misalnya antara lain pasal-pasal karet Haatzaai Artikelen. Melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) no 10/1960, pemerintah Soekarno mewajibkan pers—saat itu surat kabar dan majalah—menjadi pendukung, pembela dan alat penyebaran Manifesto Politik Soekarno. Pada realisasinya sehari-hari, itu berarti tunduk patuh tanpa kritik kepada pemerintah Soekarno.
“Wartawan yang tidak mau tunduk ditangkap, dan media massa yang tidak disenangi pemerintah ditutup,”kata Jus, mengutip pernyataan tokoh pers Mochtar Lubis, dalam artikelnya “Etos Pers Indonesia”, yang dimuat Prisma edisi Desember 1978. Saat itu, kata Jus, terjadi banyak penangkapan dan bredel surat kabar. Misalnya pimred surat kabar Duta Masyarakat, milik Nahdlatul Ulama, Asa Bafaqih, ditangkap dan dipenjara atas tuduhan “membocorkan rahasia negara”, hanya gara-gara Duta memberitakan rencana kenaikan gaji pegawai negeri sebelum pemerintah mengumumkannya secara resmi!
Era Orde Baru yang awalnya dipenuhi eforia kebebasan pers, semenjak terjadinya peristiwa Malari 1974, kontan berubah drastis. Hubungan Soeharto dengan pers tak lebih baik daripada pendahulunya. Tidak hanya melarang penerbitan harian Nusantara, Abadi, KAMI, Pedoman, Indonesia Raya, dan banyak lagi. “Saya saat itu wartawan Indonesia Raya yang dipimpin alm Mochtar Lubis,”kata Jus. Beberapa surat kabar kemudian dizinkan untuk terbit kembali, setelah mengajukan permintaan langsung kepada Presiden Soeharto, lewat pengurus PWI Pusat saat itu, Harmoko, pada Januari 1976. Surat kabar-surat kabar itu kembali terbit setelah para wakilnya menandatangani kesepakatan tertulis dengan Kementerian Penerangan dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga keamanan yang sangat powerful kala itu.
Salah satu contoh untuk menggambarkan apa saja ketentuan itu misalnya dapat dilihat dari kesepakatan harian Sinar Harapan, yang pada 1978 juga mengalami pembredelan pemerintah. Pada beberapa klausulnya, terlihat betapa tidak berdayanya pers (sebagai contoh: Sinar Harapan) saat itu. Di pada surat tertanggal 1 Februari itu ada janji, antaranya, untuk “menahan diri untuk selalu mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan surat kabar”, “menjaga nama baik pemerintah dan pimpinan nasional…serta anggota-anggota keluarganya”, “…tidak akan memperuncing keadaan…”, “mematuhi segala ketentuan lainnya yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka membina pers yang bebas dab bertanggung jawab…”, dan sebagainya.
Kalau boleh dikatakan sebagai puncak—karena senantiasa diulang-ingatkan—adalah peristiwa pembredelan tiga media, TEMPO, Detik dan Editor, pada 1994.
Jus mengatakan, sebagai órang lama’ ia merasakan ada paradoks pada situasi pers saat ini. Awak pers, menurutnya, terkesan gampang menyerah dan kehilangan elan untuk menegakkan wibawanya sendiri. Berbeda dengan masa lalu, tampaknya awak pers era kini tidak lagi melihat dirinya sebagai pejuang kebebasan berbicara di dan untuk masyarakat. Ia mencontohkan peristiwa demo 212 yang hampir tidak diliput pers arus utama.
“Itu peristiwa besar, ratusan ribu, bahkan jutaan warga turun ke jalan, dan tak ada pers mainstream yang memberitakan. Ini gejala apa?” tanya Jus, retoris.
Kepada hadirin yang sebagian mewakili insan pers Indonesia, di bagian akhir pemaparannya Jus meminta insan pers untuk sadar dengan tugas utamanya, yakni penyuara kebenaran dan keadilan. “Itu ‘amanat’ saya sebagai senior kalian,” kata dia, terkekeh. [ ]