Crispy

Kali Mookervaart, Seutas Saluran Warisan VOC yang tak Dikenal Masyarakat

  • Kali Mookervaar telah berusia 300 tahun, tapi penduduk asli tak kenal namanya.
  • Penduduk mengenal saluran peninggalan VOC itu dengan banyak nama.
  • Generasi awal pemukim di bantara Kali Mookervaart rupanya tak pernah diwariskan nama saluran itu.

JERNIH — Sempatkan bertanya kepada penduduk, asli atau pendatang yang sekian lama bermukim di kawasan Cengkareng sampai Tangerang, tentang nama kali yang membentang di sisi utara Jl Daan Mogot? Anda pasti mendapat jawaban beragam, bahkan terkadang mencengangkan.

“Ini kali Tangerang,” ujar Sayuti (59), warga Kampung Poris Plawad, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, yang lahir dan besar tak jauh dari bantaran Kali.

Ahyani, rekan sebaya Sayuti, mengatakan; “Ini anak Kali Tangerang.” Yang menarik, seorang anak muda yang nongkrong di perpustakaan komuntas di Kampung Poris Plawad mengatakan; “Ini Kali Nek Be’eng.”

Nek Be’eng, menurut seorang penduduk yang biasa mancing di kali peninggalan VOC itu, adalah salah satu nenek moyang warga Kampung Poris Plawad. Ia biasa mencuci pakaian, perabot rumah tangga, dan mandi, di bantaran kali. Nek Be’eng meninggal tahun 1980-an dalam usia sangat tua.

Sayono alias Yabun, warga Rawa Kramat yang setiap hari menyusuri Jl Daan Mogot untuk sampai ke Pasar Cengkareng, mengatakan tidak tahu nama kali itu.

Ironisnya, Yabun kerap melewati halte busway Rawa Buaya arah Tangerang. Di depan halte itu terdapat tulisan besar Kali Mookervaart, dan dia tidak sadar itulah nama kali yang setiap hari dilihatnya.

Van Mook, Mookervaart

Kali Mookervaart — membentang sepanjang 13 kilometer dari tepi Sungai Cisadane di Kota Tangerang ke Pesing, Jakarta Barat — telah ada sebelum wilayah sebelah barat Batavia, atau Jakarta saat ini, kedatangan pemukim dari luar.

Ada dua versi tentang sejarah Kali Mookervaart. Versi pertama menyebutkan kali dibangun atas gagasan Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker. Pembangunan dimulai tahun 1678, atau setelah VOC dan Kesultanan Banten menandatangani perjanjian damai.

Pembangunan diteruskan dua gubernur jenderal VOC berikut; Rijcklof van Goens dan Corbelis Speelman, dan diselesaikan Gubernur Jendral Johannes Camphuys tahun 1689.

Versi kedua menyebutkan kali dibangun Cornelis Vincent van Mook, nenek moyang Hubertus van Mook — gubernur jenderal Hindia-Belanda terakhir yang berupaya merehabilitasi kekuasaan Belanda di Indonesia.

Van Mook memulai pembangunan kali tahun 1681. Ia mendatangkan 7000 pekerja dari desa-desa di Indramayu dan ratusan orang Tionghoa dari Kesultanan Banten yang membelot ke VOC.

Pada 6 Oktober 1687 pembangunan selesai. yang ditandai mengalirnya sepertiga air Sungai Cisadane ke sepanjang saluran. Setahun kemudian, tepatnya 20 Oktober 1688, Cornelis Vincent van Mook meninggal dunia.

Nama Van Mook diabadikan menjadi Mookervaart, yang artinya saluran Mook. Arti lain Mookervaart adalah Mook Si Cepat.

Pembukaan Ommelanden

Tahun-tahun berikut setelah pembangunan Kali Mookervaart, VOC melakukan penetrasi ke sepanjang bantarannya, membuka hutan, memetakan, dan menjualnya sebagai tanah partikelir.

Saat itulah tanah-tanah partikelir, yang kini menjadi nama kelurahan dan kecamatan di sepanjang Jl Daan Mogot, muncul. Sebut saja Cengkareng, Kalideres, Rawa Buaya, Cipondoh, Batuceper, dan lainnya.

Landheer, atau pemilik tanah partikelir, mendatangkan pekerja dari luar atau membiarkan eks serdadu Kesultanan Banten bermukim. Orang-orang Tionghoa menyewa tanah partikelir, sebagian atau seluruhnya, untuk pembukaan industri gula.

Selama tiga dekade awal sejak pembangunan, Kali Mookervaart berfungsi sebagai sarana transportasi barang dan orang. Pada dekade ketiga abad ke-18, Kali Mookervaart mendapatkan fungsi baru, sebagai penyuplai air utama ke Kali Angke sepanjang musim.

Dari Kali Angke, air disalurkan ke jaringan kanal di sekujur Batavia. Saat itu. Batavia saat itu waterfront city, dengan jaringan kanal di sekujurnya.

Fungsi ini mulai dijalankan setelah Gubernur Jenderal Diederik Durven melakukan pendalaman Kali Mookervaart mulai dari Cengkareng sampai Pesing dan membangun pintu air tak jauh dari Sungai Cisadane.

Namun, tidak sepanjang musim Kali Mookervaart mampu menyuplai air yang cukup ke Kali Angke. Akibatnya, kanal-kanal sekujur Batavia kekurangan pasokan air dan tak mengalir.

Air menggenang menimbulkan pendangkalan hebat dan menjadi tempat nyamuk berbiak. Di musim penghujan, kanal-kanal dangkal menerima pasokan air dalam jumlah melebihi kapasitas. Banjir di Batavia tak terhindarkan.

Ketika sistem kanal di Batavia dihapus, dan semua saluran ditutup dan menjadi jalan, Kali Mookervaart dan Kali Angke kehilangan fungsi sebagai penyuplai air. Memasuki abad ke-20, Kali Mookervaart menjadi bencana.

Hampir di setiap musim penghujan, debit air Sungai Cisadane yang masuk ke Kali Mookervaart nyaris tak terkontrol. Kali Mookervaart menumpahkan isinya ke sepanjang bantaran, menggenangi permukiman, dan tanah pertanian.

Tahun 1918, setelah banjir besar yang melumpuhkan Batavia dan menenggelamkan banyak kampung di Ommelanden, Hendrik van Breen dan LJ Polderman — keduanya pakar tata air — mengusulkan agar menutup Kali Mookervaart.

Usulan itu ditolak karena terlalu mahal, dan diprediksi bakal melumpuhkan tranportasi produk pertanian dari kawasan Tangerang ke Batavia. Sejak saat itu, hampir di setiap musim penghujan Kali Mookervaart menjadi bencana bagi wilayah sepanjang bantarannya.

Tak Diwariskan

Pertanyaannya, mengapa nama Kali Mookervaart tak dikenal masyarakatnya?

Dunih, warga Semanan, Jakarta Barat, punya pendapat menarik. “Kami tidak diwariskan nama Kali Mookervaart oleh orang tua kami,” katanya. “Orang tua kami pun mungkin tak diwariskan nama itu oleh orang tuanya.”

Kalau pun ada generasi warga asli Cengkareng, Kalideres, Rawa Buaya, dan mereka yang tingal di bantaran saluran tahu nama itu, menurut Dunih, hanya karena membaca tulisan sejarah di media online atau mendengar dari orang lain.

Jadi, menurut Dunih, nenek moyang mereka — atau generasi awal pemukim di sepanjang bantaran Kali Mookervaart — memang tidak pernah tahu nama saluran warisan VOC itu.

“Jika nenek moyang kami diwariskan nama itu, mungkin penyebutan dan penulisannya berubah,” kata alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. “Sebab, Mookervaart bukan kata yang mudah diucapkan pribumi tak pernah sekolah pada saat itu.”

Asumsi Dunih mungkin benar. Beberapa nama wilayah di sepanjang Kali Mookervaart mengalami perubahan penyebutan di lidah pribumi. Salah satunya Pesing. Dalam peta Hindia-Belanda tertulis Piesing.

Lainnya adalah Poglar. Dalam peta Hindia-Belanda tertulis Vogelaar. Kali Deres dalam peta Belanda tertulis Kalidras atau Calidras, yang merupakan terjemahan dari Sterk Rivier — kata dalam Bahasa Belanda yang berarti Kali Deres.

Nama Kali Mookervaart relatif hanya dikenal di kalangan penduduk Belanda di Batavia, dan pemilik tanah partikelir di sepanjang saluran itu tapi tinggal di tengah kota.

Jadi ketidak-tahuan masyarakat akan nama Kali Mookervaart lebih disebabkan penetrasi pemerintah Hindia-Belanda ke sebelah barat Ommelanden yang sangat terbatas. Keterbatasan itu disebabkan, menggunakan temuan sejarawan Margrit van Till, tingkat kriminalitas yang tinggi.

Back to top button