CrispyVeritas

Kekejaman Kemanusiaan Baru: Israel Larang Puluhan Lembaga Bantuan Dunia Beroperasi di Gaza Mulai 1 Januari

Dengan perginya lembaga-lembaga dalam layanan medis, distribusi pangan, hingga penanganan trauma mental, jutaan warga Gaza kini menghadapi masa depan yang semakin suram di tengah reruntuhan wilayah mereka.

JERNIH – Kabar buruk menyelimuti upaya bantuan kemanusiaan di Gaza tepat di ambang tahun baru. Pemerintah Israel secara resmi mengumumkan penghentian operasional lebih dari 25 organisasi kemanusiaan internasional ternama, termasuk Doctors Without Borders (MSF), Norwegian Refugee Council (NRC), dan CARE International, mulai 1 Januari 2026.

Keputusan ini diambil setelah kementerian terkait menuduh lembaga-lembaga tersebut gagal mematuhi aturan baru mengenai transparansi staf, pendanaan, dan operasional. Israel bersikeras bahwa langkah ini diperlukan untuk mencegah Hamas mengeksploitasi kerangka kerja kemanusiaan demi kepentingan terorisme.

Pelarangan ini mencakup sekitar 15 persen dari total LSM yang bekerja di Gaza. Beberapa nama besar yang izinnya tidak diperpanjang antara lain:

  • Sektor Kesehatan: Doctors Without Borders (Prancis, Belgia, Belanda, Spanyol), Medecins du Monde.
  • Sektor Pangan & Sosial: Action Against Hunger, Oxfam, World Vision International, dan CARE.
  • Sektor Perlindungan & Pendidikan: Save the Children (Campaign for the Children of Palestine), International Rescue Committee (IRC), dan Caritas.

Lembaga-lembaga ini diwajibkan menutup kantor mereka di Israel dan Yerusalem Timur, serta dilarang mengirimkan staf internasional maupun bantuan logistik ke Gaza.

Inti dari perselisihan ini adalah aturan baru Israel yang mewajibkan lembaga bantuan menyerahkan daftar lengkap seluruh staf mereka, termasuk warga Palestina di Gaza. Banyak LSM menolak mentah-mentah aturan ini karena alasan keamanan dan hukum perlindungan data di Eropa.

“Kami melihat ratusan pekerja bantuan tewas di Gaza. Ada ketakutan besar bahwa daftar staf ini akan digunakan sebagai target militer atau intelijen,” ujar Shaina Low, penasihat komunikasi Norwegian Refugee Council.

Athena Rayburn, Direktur Eksekutif AIDA, menambahkan bahwa membiarkan pihak yang berkonflik melakukan pembersihan (vetting) terhadap staf kemanusiaan adalah pelanggaran terhadap prinsip netralitas dan independensi internasional.

Menteri Urusan Diaspora Israel, Amichai Chikli, menegaskan bahwa pesan pemerintah sangat jelas. “Bantuan kemanusiaan diterima dengan baik, tetapi eksploitasi kemanusiaan untuk terorisme tidak akan ditoleransi,” ujarnya.

Badan pertahanan Israel, COGAT, mengeklaim bahwa organisasi-organisasi yang dilarang ini hanya berkontribusi kurang dari 1 persen dari total bantuan yang masuk ke Gaza, sehingga mereka mengeklaim pasokan bantuan tidak akan terganggu. Namun, klaim ini dibantah keras oleh lembaga bantuan yang menyebut kebutuhan di Gaza masih sangat besar meski gencatan senjata telah berlaku sejak Oktober.

Gaza Semakin Terisolasi

Pengusiran massal lembaga bantuan ini menambah panjang daftar “perang” Israel terhadap organisasi internasional, setelah sebelumnya mereka melarang badan PBB UNRWA. Dampaknya, beban kerja kini jatuh sepenuhnya kepada staf lokal di Gaza yang sudah dalam kondisi kelelahan ekstrem.

Dengan perginya lembaga-lembaga dalam layanan medis, distribusi pangan, hingga penanganan trauma mental, jutaan warga Gaza kini menghadapi masa depan yang semakin suram di tengah reruntuhan wilayah mereka.

PBB mendesak Israel untuk tidak melarang puluhan LSM internasional beroperasi di Gaza , dengan mengatakan bahwa kerja sama mereka dengan badan-badan PBB di wilayah tersebut sangat penting untuk layanan kemanusiaan.

“PBB dan para mitranya mendesak otoritas Israel untuk mempertimbangkan kembali pengumuman hari ini tentang LSM internasional , yang merupakan bagian penting dari operasi kemanusiaan penyelamatan jiwa di Wilayah Palestina yang Diduduki,” kata Tim Kemanusiaan Negara untuk Wilayah Palestina yang Diduduki dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan kemarin.

Kementerian Luar Negeri Palestina mengutuk langkah tersebut, dengan menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “Israel tidak memiliki kedaulatan atas wilayah Palestina yang diduduki, termasuk Yerusalem.”

“Israel tidak menginginkan saksi atas kejahatannya, dan juga tidak menginginkan lembaga-lembaga yang mendukung rakyat Palestina dan mencegah Israel melaksanakan proyek kolonialnya yang bertujuan menghancurkan kehidupan rakyat Palestina,” tambah pernyataan itu.

Back to top button