Korsel Gelar Pengadilan Jugun Ianfu
Seoul — Sebuah pengadilan di Korea Selatan memulai persidangan kasus perdata yang lebih 50 tahun ditunggu, yaitu tuntutan terhadap pemerintah Jepang oleh para jugun ianfu — perempuan yang dipaksa menjadi budak seks tentara Dai Nippon selama Perang Dunia II.
Pengadilan Distrik Pusat Seoul mengadili kursi kosong, karena Jepang — yang seharusnya menjadi terdakwa — menolak berpartisipasi dalam kasus ini. Tokyo mengatakan kekebalan kedaulatan melindungi Jepang dari tuntutan hukum negara lain.
Sebanyak 20 mantan jugun ianfu dan kerabatnya tahun 2016 mengajukan gugatan dan meminta kompensasi masing-masing 171 ribu dolar AS ke pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menolak salinan pengaduan, yang membuat proses pengadilan tertunda selama tiga tahun.
Jepang mengatakan semua kompensasi perang diselesaikan dalam Perjanjian 1965, yang menormalisasi hubungan kedua negara. Jepang juga menuduh Korea Selatan berulang kali membuka masalah masa lalu yang sudah diselesaikan.
Tahun lalu, Mahkamah Agung Korea Selatan menyerukan perushaan-perusahaan Jepang untuk menawarkan reparasi kepada mantan jugun ianfu. Jepang menolak keputusan itu, dan perselisihan meningkat menjadi perang dagang.
Korsel dan Jepang menurunkan status perdagangan. Berikutnya, Seoul mengancam akan mengakhiri perjanjian intelejen militer 2016 dengan Tokyo.
Lee Ok-soen, mantan jugun ianfu, mengatakan Jepang harus bertobat. “Mereka menculik anak-anak yang tidak bersalah dan menimbulkan kerusakan pada anak-anak itu,” kata Ok-soen kepada wartawan.
Tidak diketahui berapa lama pengadilan akan berlangsung. Yang pasti, hakim akan mengandalkan argumen hukum para penggugat untuk mengambil keputusan.
Under South Korea’s previous conservative government, the countries attempted to settle their decades-long dispute over sexual slavery in 2015 when they reached an agreement for Tokyo to fund $9m to a Seoul-based foundation to help support victims.
The deal was hugely unpopular in South Korea, where many people criticised their government for settling for far too less and accused Tokyo of attempting to silence the victims with money. The government of South Korean President Moon Jae-in, who took office in 2017, took steps to dissolve the foundation, saying the deal lacked legitimacy because officials failed to properly communicate with victims before reaching it.
About 240 South Korean women came forward and registered with the government as victims of sexual slavery by Japan’s wartime military, but only 20 are still alive.