Crispy

Le Pen Usulkan Pelarangan Jilbab di Seluruh Prancis

Pemimpin kontroversial sayap kanan Prancis, Le Pen, yang akan ikut dalam Pilpres Prancis tahun depan, mengatakan jilbab mewakili ideologi para “totaliter dan pembunuh”.

JERNIH– Laman berita terkemuka Al-Jazeera melaporkan, pemimpin sayap kanan Prancis, Marion Anne Perrine “Marine” Le Pen, mengusulkan pelarangan jilbab di semua tempat umum di Prancis.

Kebijakan jilbab yang akan digugat di pengadilan dan hampir pasti dianggap tidak konstitusional, membuat pria berusia 53 tahun itu kembali ke tema kampanye yang akrab baginya, 15 bulan dari pemilihan presiden 2022 di negara itu.

“Saya menganggap jilbab adalah pakaian Islamis,” kata Le Pen kepada wartawan pada konferensi pers Jumat(29/1). Saat itu dia mengusulkan undang-undang baru untuk melarang “ideologi Islam” yang dia labeli “totaliter dan membunuh”.

Marine Le Pen, dalam sebuah kesempatan.

Sejak mengambil alih partai sayap kanan utama Prancis dari ayahnya, Jean-Marie Le Pen, Marine Le Pen telah mencalonkan diri dua kali untuk kursi kepresidenan Prancis. Namun, ia kalah telak pada 2017 dari pendatang baru politik Macron dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk pulih kembali.

Masalahnya, jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan reputasinya merangkak naik. Hal itu menyebabkan banyak spekulasi baru tentang apakah partai populis anti-Uni Eropa (UE), anti-imigrasi, itu akhirnya dapat memasuki Istana Elysee.

Terlepas dari kemunduran baru-baru ini untuk sesama ideolog seperti Donald Trump dan Matteo Salvini di Italia, sebuah survei awal pekan ini menunjukkan, dia semakin rapat pada posisi Macron.

Jajak pendapat yang dilakukan secara daring oleh Harris Interactive menunjukkan jika pemilihan presiden putaran terakhir diadakan hari ini, Le Pen akan mengumpulkan 48 persen. Sementara Macron akan terpilih kembali dengan 52 persen, menurut surat kabar Le Parisien.

“Ini jajak pendapat, ini cuplikan dari suatu momen, tetapi yang ditunjukkan adalah gagasan saya menang itu kredibel, bahkan masuk akal,” kata Le Pen pada konferensi pers.

Prospek kontes yang ketat memicu lonceng peringatan di arus utama politik Prancis karena krisis ganda, yakni krisis kesehatan dan ekonomi, yang disebabkan oleh pandemi virus corona menyapu seluruh negeri. “Ini adalah yang tertinggi yang pernah dia capai,” kata Jean-Yves Camus, seorang ilmuwan politik Prancis yang berspesialisasi di sayap kanan. Ia menambahkan, “Terlalu dini untuk mengambil jajak pendapat begitu saja.”

Yves Camus mengatakan, Le Pen junior diuntungkan rasa frustrasi dan kemarahan atas pandemi, dengan Prancis di ambang penutupan ketiga. Apalagi ada juga fenomena pemenggalan kepala seorang guru sekolah Prancis, Samuel Paty, Oktober lalu.

“Itu berdampak besar pada opini publik,” kata Camus.

“Di bidang ini, Marine Le Pen memiliki keuntungan: partainya terkenal dengan posisinya yang mengecam Islamisme.”

Nasib umat Islam Prancis

Pemenggalan kepala Samuel Paty di sebuah kota di barat laut Paris menghidupkan kembali argumen pahit di Prancis tentang imigrasi, sekaligus menempatkan bentuk sekulerisme ketat negara itu di bawah pengawasan internasional.

Guru sekolah menengah itu diserang di jalan oleh bocah beranjak dewasa berusia 18 tahun, setelah dia menunjukkan kartun satir Nabi Muhammad kepada murid-muridnya selama kelas kewarganegaraan tentang kebebasan berbicara. Setelah diserang kepalanya dipenggal, dan aksi itu yang kemudian merebak mendunia.

Menanggapi kematian Paty, pemerintah Macron menutup sejumlah organisasi yang dianggap Islamis dan rancangan undang-undang yang awalnya disebut “RUU anti-separatisme”, yang menindak pendanaan asing untuk organisasi Islam.

Jika terpilih kembali setelah kampanye yang diharapkan berpusat pada pekerjaan, pandemi, dan tempat Islam di Prancis, Macron (43) akan menjadi presiden pertama sejak Jacques Chirac pada 2002 yang memenangkan masa jabatan kedua.

Di bawah sistem presidensial, dua kandidat teratas dalam putaran pertama pemungutan suara maju ke putaran kedua di mana pemenang harus mendapatkan lebih dari 50 persen.

Kemenangan Le Pen “tidak mungkin terjadi tiga setengah tahun lalu”, komentator politik veteran Alain Duhamel mengatakan kepada saluran berita BFM minggu ini. “Namun, hari ini saya tidak akan mengatakan itu mungkin. Tetapi tanpa kesenangan apa pun, menurut saya itu bisa saja terjadi.”

Pemutaran ulang kontes Macron-Le Pen di 2017 mencatat, semua jajak pendapat menunjukkan hasil yang bisa meningkatkan tingkat kekecewaan terhadap sistem politik Prancis.  Jumlah pemilih pada putaran kedua 2017 mencapai 74,6 persen, level terendah sejak 1969, karena banyak pemilih dari kiri menolak memberikan suara. [Al-Jazeera]

Back to top button