Lukisan Karya Manusia Purba di Sulawesi Selatan Terancam Musnah Akibat Perubahan Iklim
- Lukisan mulai mengelupas akibat kadar garam yang tinggi.
- Pemanasan global dituding sebagai pemicu kerusakan.
- Sulawesi menyimpan ratusan gua berisi lukisan cadas.
- Lukisan itu dikhawatirkan hilang sebelum ditemukan dan dipelajari.
JERNIH — Sejumlah lukisan purba di dinding ratusan gua di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami kerusakan pada tingkat mengkhawatirkan akibat perubahan iklim.
Penelitian para ahli dari Universitas Griffith Australia dan spesialis dari Indonesia menunjukan betapa tak ternilai lukisan berburu binatang dan lukisan mahluk gaib di sebuah gua di Sulsel. Namun, lukisan itu mulai rusak akibat cuaca ekstrem.
Dalam makalah penelitian yang dipublikasikan Scientific Reports pekan lalu, peneliti memfokuskan perhatian pada sebelas situs kurst kapur di Maros, Pangkep, tempat karya seni berusia 44 ribu tahun itu. Lukisan-lukisan itu memiliki signifikansi global.
“Lukisan ini ditemukan sejak 1950-an, tapi usianya baru diketahui sekitar tahun 2014,” kata Dr Jillian Huntley, spesialis konservasi seni cadas di Universitas Griffith, kepada CNA.
“Setelah kami mempelajari seni lukis cadas di Sulsel ini, hanya di satu wilayah, benar-benar mengubah yang kami ketahui tentang kisah manusia,” lanjut Huntley.
Menurutnya, lukisan itu karya nenek moyang kita, manusia pertama di wilayah ini. “Kita masih belum tahu banyak tentang mereka. Penemuan seni ini benar-benar membuat kita menulis ulang buku teks,” katanya.
Setelah bertahan puluhan ribu tahun, seni lukis cadas di Sulsel itu memburuk dan dalam kondisi lembab yang memanas dengan cepat.
Penelitian menunjukan peningkatan suhu, hari-hari kering yang berlarut-larut, dan episode monsoon yang kuat, mempercepat pembentukan kristal garam di dalam sistem gua yang berisi seni lukis cadas.
“Air dan garam adalah agen paling merusak,” kata Huntley. “Air masuk melalui batu dan mengalir di permukaan batu. Khususnya di lingkungan yang memiliki penguapan sangat tinggi, air mengambil semua mineral alami yang menahan garam. Ketika air menguap garam membentuk kristal.”
Di atas permukaan batu, kristal secara kimiawi mulai memecah permukaan yang benar-benar mengeras. Proses normal ini dipercepat, dan membuat motif lukisan runtuh begitu saja.
Ini terjadi di ratusan situs di seluruh wilayah Sulsel. Huntley juga mengatakan di sekitar 300 situs seni cadas di Sulsel, hampir semua terkena dampak proses ini.
“Seni itu ada karena mencapai keseimbangan dengan lingkungan,” katanya. “Namun perubahan iklim mempercepat pelapukan, dan warisan dari masa 44 ribu tahun lalu bisa hilang begitu saja.”
Jika suhu meningkat karena efek pemanasan global yang memburuk, para peneliti memperkirakan seni lukis gua di Sulsel akan hilang lebih cepat. Beberapa mungkin hilang sebelum dapat ditemukan.
Sulawesi adalah pulau yang luas dan berbatu. Peneliti memperkirakan masih banyak gua-gua yang belum dimasuki peneliti untuk melihat lukisan cadas karya nenek moyang kita.
Adhi Agus Oktaviana, pakar seni cadas Indonesia dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas), mengatakan hampir tanpa kecuali lukisan-lukisan itu mengelupas dan dalam tahap pembusukan lanjutan.
“Kita berpacu dengan waktu,” katanya.
Tidak hanya perubahan cuaca. Sawah penduduk dan kolam budidaya yang digunakan penduduk setempat berkontribusi pada kelembaban, penguapan, dan jumlah air yang tertahan di lingkungan. Perkembangan industri juga menjadi ancaman.
Kelompok konservasi lokal telah memulai program pemantauan, tapi upaya mitigasi pada skala lanskap mungkin diperlukan utnuk melindungi seni lukis cadas ini. Ini sangat sulit karena bertentangan dengan kebutuhan penduduk lokal, salah satunya ketahanan pangan