Crispy

Man Vs Baby Kreativitas Rowan Atkinson di Usia 70 Tahun

Mr Bean, eh.. Rowan Atkinson kali ini memerankan Trevor Bingley. Pria yang dalam beberapa hari kehidupannya disibukkan oleh seorang bayi. Film Netflix empat episode yang pas untuk menghibur diri.

WWW.JERNIH.CO –  Jika Man vs Bee (2022) membuktikan bahwa Rowan Atkinson mampu mengubah konflik sepele—seorang pria melawan seekor lebah—menjadi tontonan komedi yang menegangkan sekaligus memancing tawa, maka Man vs Baby (sebagai sekuel spiritual atau gagasan hipotetis) adalah eskalasi yang hampir sempurna. Bayangkan bukan lagi serangga kecil yang gesit, melainkan seorang bayi: makhluk mungil yang tampak tak berdaya, namun justru menjadi sumber kekacauan paling absolut.

Secara ide, Man vs Baby merepresentasikan puncak dari apa yang bisa disebut sebagai fase “The Minimalist Chaos” dalam karier Atkinson. Konflik tidak lagi bergantung pada dialog atau plot kompleks, melainkan pada pertarungan diam-diam antara kontrol dan ketidakpastian. Bayi tidak memiliki niat jahat, tidak punya agenda, dan justru di situlah letak terornya. Segala upaya rasional sang protagonis—mengganti popok, menenangkan tangisan, menjaga rumah tetap steril—selalu berujung pada kehancuran yang tak terduga.

Minim Dialog Tapi Tegang

Dari sisi kreativitas film, Man vs Baby sangat potensial mengeksplorasi konsep “The Silent War”. Dialog diminimalkan, sementara desain suara justru menjadi sumber ketegangan utama: detak jam di tengah malam, bunyi mainan yang terinjak, atau tawa bayi yang muncul tiba-tiba seperti jumpscare dalam film horor. Kamera bisa sengaja mengambil sudut pandang rendah—setinggi mata bayi—membalik hierarki kekuasaan visual, menjadikan Atkinson tampak kecil, canggung, dan terus berada di posisi defensif.

Konflik ideologisnya sederhana namun kuat: seorang pria dewasa yang perfeksionis, intelektual, dan merasa “paling tahu” dipertemukan dengan makhluk yang sepenuhnya digerakkan oleh insting. Semua kecerdasan, teknologi, dan perencanaan runtuh hanya oleh satu gerakan spontan bayi. Ini bukan sekadar lelucon slapstick, melainkan refleksi tentang betapa rapuhnya kontrol manusia dewasa.

Seperti Man vs Bee yang memanfaatkan rumah pintar sebagai penjara modern, Man vs Baby sangat cocok mengusung konsep claustrophobic comedy. Lokasi terbatas—apartemen modern atau rumah minimalis—diubah menjadi medan perang berlapis level. Dapur menjadi zona bahaya cairan panas, kamar mandi berubah menjadi arena licin penuh risiko, sementara ruang bermain bayi adalah ladang ranjau penuh mainan kecil yang siap menjatuhkan martabat protagonis.

Secara visual, estetika bersih dan rapi khas film-film Atkinson modern memberi kepuasan tersendiri ketika kekacauan mulai terjadi. Noda susu di dinding putih, makanan bayi yang muncrat ke furnitur mahal, hingga teknologi pengasuhan berbasis AI yang justru memperparah situasi—semuanya menciptakan kontras visual yang kuat sekaligus komentar sosial tersirat tentang manusia modern yang terlalu bergantung pada sistem.

Konsistensi Ide, Kematangan Eksekusi

Ketika ditarik ke belakang, Man vs Bee berfungsi sebagai jembatan penting menuju ide Man vs Baby. Dalam serial tersebut, Atkinson menunjukkan bagaimana masalah kecil bisa diekskalasi menjadi kehancuran berskala besar melalui presisi timing komedi. Lebah CGI yang tampak sepele menjadi musuh yang tak pernah bisa dikalahkan secara rasional—sebuah pola yang akan semakin relevan jika musuhnya adalah bayi sungguhan, atau representasi sinematiknya.

Kekuatan utama dalam karya-karya ini terletak pada komedi visual universal, empati yang terjepit (penonton kasihan sekaligus menertawakan), dan absurditas yang tumbuh secara organik. Penonton tidak tertawa karena lelucon verbal, melainkan karena pengenalan diri: frustrasi terhadap hal-hal kecil yang terasa terlalu nyata.

Di usia sekitar 70 tahun, Rowan Atkinson justru berada pada fase kreatif yang matang. Ia memang menjauh dari Mr. Bean versi live-action yang menuntut fisik ekstrem, tetapi tidak pernah meninggalkan esensi komedi bisu yang membesarkan namanya. Ia bereksplorasi melalui karakter yang lebih banyak bicara namun tetap kikuk, selektif dalam memilih proyek, serta terus menghidupkan Mr. Bean Animated Series yang relevan di era digital dan budaya short-form.

Rasa Mr. Bean

Prestasinya—mulai dari gelar CBE hingga status Mr. Bean sebagai ikon global di lebih dari 200 negara—menegaskan bahwa Atkinson bukan sekadar aktor komedi, melainkan sebuah institusi budaya. Ia memahami bahwa di tengah dunia yang semakin cepat, komedi visual justru menjadi bahasa paling abadi.

Yang membuat Man vs Baby (dan juga Man vs Bee) terasa begitu efektif adalah bayangan Mr. Bean yang tidak pernah benar-benar pergi. Meski karakter yang dimainkan Atkinson kini memiliki nama, latar belakang, dan dialog yang lebih eksplisit, bahasa tubuhnya tetap membawa DNA Mr. Bean: jeda canggung sebelum bereaksi, tatapan kosong yang perlahan berubah menjadi kepanikan, serta cara ia “berpikir keras” dengan wajah sebelum bertindak. Ini bukan nostalgia murahan, melainkan evolusi.

Mr. Bean tidak lagi hadir sebagai karakter, tetapi sebagai metode komedi—cara melihat dunia dengan logika yang sedikit melenceng namun sangat manusiawi. Kecerdasan mengaitkan dengan sosok Mr Bean bahkan sengaja disentil di adegan ketika Trevor Bingley (tokoh yang dimainkan Atkinson) sedang mengalami gangguan telefon saat menghubungi kepolisian. “Bin..???” tanya petugas polisi, yang seolah hendak mengatakan “Bean”.

Kesan ini justru memperkaya Man vs Baby. Penonton lama merasa familiar, seolah menyaksikan Mr. Bean yang menua, hidup di dunia modern, dan dipaksa menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar ujian atau kencan. Sementara penonton baru tetap bisa menikmati komedinya tanpa perlu mengenal sejarah Bean.

Dengan demikian, Atkinson berhasil mempertahankan roh karakter ikoniknya tanpa terjebak mengulang masa lalu, membuktikan bahwa Mr. Bean bukan hanya tokoh, melainkan fondasi estetika komedi yang masih berdetak kuat hingga hari ini.

Silakan buka aplikasi Netflix Anda, biarkan benak Anda tenang dan tak perlu mencerna terlalu dalam. Sebuah tontonan hiburan di akhir tahun.(*)

BACA JUGA: Adolescence, Sensasi Netflix yang Menang 8 Emmy Awards

Back to top button