Marlam : Ikhtiar Sastrawan Ciamis Memasyarakatkan Sastra
Ada yang tak sama. Sore itu, beberapa “jemaah” Marlam nampak sibuk menyiapkan komputer agar bisa lancar ketika Zoom Meeting berlangsung tepat pukul 16.00 WIB sesuai jadwal yang tertera di poster.
Di masa pandemi ini, pertemuan-pertemuan dibatasi agar tak terlalu banyak orang berkerumun. Demikian pula Marlam hari itu, Rabu (15/7/2020) di Gedung Pramuka Ciamis. Mengikuti tren masa darurat, majelis ini akan memperjumpakan “jemaahnya” dalam jaringan (daring), via aplikasi Zoom.
“Ya, mau gimana lagi, ya. Kan kumpul banyak-banyak enggak boleh. Sebagian, yang rumahnya dekat, kumpul di sini, sekalian ada syukuran juga. Yang jauh, ngobrolnya di Zoom,” terang Ridwan Hasyimi pada Jernih.
Ridwan adalah salah seorang yang turut membidani lahirnya Marlam di Ciamis, Jawa Barat. Marlam sendiri merupakan akronim dari Majelis Sore Malam. Dinamakan demikian, sebab kegiatan diskusi sastra ini dimulai pada sore hari dan biasanya berakhir pada malam bahkan dini hari.
Bagi para penghayat sastra di Ciamis, Marlam menjadi tempat berdiang (berdiskusi ngawangkong) bersama di dapur bernama gagasan. Mungkin, Marlam satu-satunya majlis yang egaliter di Ciamis yang selalu berupaya mendaraskan dan ngejah sastra bersama-sama dengan sederhana, namun bermartabat.
Sore itu, mereka membahas kumpulan puisi karya penyair muda, Luthfi Mardiansyah, berjudul “Di Tepi Rawi”. Selain membaca beberapa puisi serta membahasnya, Marlam ke-35 itu juga diisi dengan acara makan nasi kuning sebagai wujud syukur atas bertambahnya usia Luthfi sang penyair yang juga seorang penerjemah.
Selain ulang tahun, terpilihnya esai karya Ridwan Hasyimi sebagai 100 Karya Terpilih program “Nulis Dari Rumah” yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) baru-baru ini, juga turut serta disyukuri oleh para “jemaah”.
Dari SaBu ke Marlam
Kegiatan ini bermula pada tahun 2016, tepatnya saat bulan Ramadhan. Ide untuk menggelar Marlam muncul ketika sejumlah penggiat seni dan sastra di Ciamis, yang tergabung dalam kelompok Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC), mencari cara kreatif untuk mengisi waktu ngabuburit.
Sastrawan Toni Lesmana dan Wida Waridah adalah yang kali pertama mencetuskan ide untuk “tadarus” sastra. Awalnya, kegiatan ini bernama SaBu, akronim dari Sastra Ngabuburit.
Digelar dua minggu sekali, SaBu hanya dua kali melingkar membahas cerita pendek (cerpen). Pada gelaran perdananya, Senin (13/6/2016), mereka membahas cerpen “Menjelang Lebaran” karya Umar Kayam. Pertemuan selanjutnya, giliran “Tujuan Negeri Senja”-nya Seno Gumira Ajidarma yang dibahas.
Dirasa asik dan berfaedah untuk menghidupkan denyut sastra di Ciamis, para penggagas SaBu kemudian menjadikan kegiatan ini sebagai agenda rutin per dua minggu. Karena tak lagi ngabuburit, maka nama Marlam dipilih untuk menamai kegiatan ini selanjutnya.
Tempat pelaksanaannya berpindah-pindah. Padepokan Seni Budaya Rengganis adalah tempat pertama kali SaBu digelar. Selanjutnya, Marlam pernah diadakan di Studio Titik Dua, kediaman Toni Lesmana, “pojok kampus” Universitas Galuh, rumah salah seorang “jemaah”, dan tempat lainnya.
Hal ihwal pendanaan ditanggung bersama. Awalnya, ada kencleng yang disediakan uang kas. Uang itu digunakan untuk mencetak dan memfotokopi teks karya sastra yang dibahas atau membeli sekedar kopi dan air mineral. Sesekali, terkadang ada dermawan yang memastikan konsumsi aman terkendali selama kegiatan berlangsung.
Pada perkembangannya, cerpen yang dibahas tak hanya milik cerpenis-cerpenis ternama seperti Budi Darma, Martin Aleida, Linda Christanti, AA Navis, Edgar Alan Poe, dan nama beken lainnya. Beberapa kali Marlam pernah membahas karya yang ditulis oleh “jemaah” mereka sendiri.
Tak hanya cerpen, riungan ini juga sempat membaca dan membahas novel, di antaranya novel “Deng” karya Godi Suwarna yang dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh Deri Hudaya. Drama-drama pendek dan antologi puisi pun pernah beberapa kali “dimesrai”.
Kegiatan ini biasanya diawali dengan membaca secara berantai karya sastra yang akan dibahas. Dengan posisi duduk melingkar, tiap-tiap orang yang hadir disilakan membaca beberapa paragraf cerpen, novel; dialog drama, atau beberapa buah puisi. Selesai satu orang membaca, orang di sampingnya akan melanjutkan.
Setelah karya sastra tersebut selesai dibaca, barulah masuk pada pembahasan. Ridwan menerangkan, di Marlam, karya sastra tidak dibahas sebagaimana di ruang-ruang diskusi sastra di kampus atau tempat yang lebih “serius”.
Lebih lanjut, pendiri Gardu Teater ini menjelaskan, Marlam merupakan majelis atau tempat orang untuk bebas mengomentari karya sastra “tanpa harus dipertanggungjawabkan”.
“Kalau di ruang akademik, pendapat itu kan harus dapat dipertanggungjawabkan. Maksudnya, landasan atau teori yang dipakai untuk membedah karya itu harus puguh (jelas). Ngomong karya ini begini, begitu, kan harus jelas referensinya, pakai teori atau pendekatan apa. Di Marlam, enggak gitu. Jadi, yang disampaikan itu kesan orang-orang terhadap karya itu,” Ridwan menjelaskan.
Dengan membebaskan “jemaahnya” memberi tanggapan baik berupa kesan, kritik, pujian, atau apa pun, Marlam tidak berusaha mengambil sebuah kesimpulan mutlak atas suatu karya. Karya sastra dapat dipandang dari berbagai macam sudut pandang tergantung latar belakang si pemberi kesan.
Diakui Ridwan, tujuan awal diadakan kegiatan ini adalah untuk mendekakan sastra pada orang-orang yang selama ini jarang atau belum pernah sama sekali bersinggungan dengan sastra. Oleh karena itu, sebagian besar peserta yang biasa hadir justru bukan berlatar belakang sastra.
“Yang hadir [berasal dari] macam-macam [latar belakang]. Ada mahasiswa, anak SMA, ibu rumah tangga, dosen, seniman, dan lain-lain. Temen-temen waria juga pernah ikut. Yang mahasiswa juga, malah enggak ada mahasiswa [jurusan] sastranya. Paling, yang latar belakang sastra mah satu dua, lah,” pungkas Ridwan. [*]