Melacak ‘Ketuhanan Yang Berkebudayaan’, Frasa Bermasalah RUU HIP
JAKARTA — Meski Pemerintah telah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) pada Selasa (16/6/2020), namun RUU HIP masih tetap jadi bahan perbincangan banyak pihak.
Salah satu hal yang jadi sorotan adalah adanya frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” dalam RUU tersebut.
Dinukil dari Historia, frasa tersebut terdapat pada pasal 7 ayat (2). Secara utuh, pasal 7 yang terdiri dari 3 ayat tersebut berbunyi:
(1). Ciri Pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
(2). Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
(3). Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Frasa “ketuhanan yang berkebudayaan” dalam konteks dasar negara awalnya muncul dalam pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945.
“Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”
Selanjutnya, “Bung Besar” mengambil contoh Nabi Muhammad dan Nabi Isa yang mana mereka dapat menghormati agama-agama lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa prinsip kelima dari Indonesia Merdeka ialah Ketuhanan yang berkebudayaan.
“Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!”
Yudi Latif, mantan ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menyatakan bahwa frasa “Ketuhanan yang berkebudayaan” dipakai Soekarno sebagai semangat mengembangkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Dengan ungkapan tersebut, bisa dipahami bahwa dalam pandangan Soekarno, asas Ketuhanan Yang Maha Esa itu, dalam relasi politis-muamalahnya, hendaknya dikembangkan dengan semangat Ketuhahanan yang berkebudayaan,” ungkapnya, dilaporkan Historia.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila, jelas Yudi, menyerupai konsep civil religion yang melibatkan nilai-nilai moral universal agama. Namun, secara jelas dibedakan dengan agama itu sendiri.
Diolah dari berbagai sumber, civil religion (agama sipil) adalah konsep yang populer di Perancis pada 1950-an. Gagasan ini menjadi bahasan para sosiolog di Amerika setelah dipopulerkan oleh Robert Nelly Bellah, pensiunan Guru Besar Sosiologi Universitas California, AS.
Konsep ini menyatakan bahwa negara memiliki fungsi implisit sebagai agama dalam konteks jalan hidup. Hal ini tercermin dalam simbol-simbol negara, perayaan publik, upacara dan peringatan hari-hari besar, monumen, taman makam pahlawan, dan hal semacamnya yang umumnya ada dalam suatu agama.
Berita Terkait : Polemik RUU HIP: Dari ‘Accident’ Bakar Bendera PDIP Hingga Nuansa Ateistik
Menurut Yudi, selain mirip konsep agama sipil, ketuhanan dalam konteks Pancasila juga merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan.
“Dalam kerangka pencarian titik temu ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat karena sila pertama Pancasila (sebagai konsensus publik) jelas-jelas menghendaki agar nilai-nilai Ketuhanan mendasari kehidupan publik-politik,” tulis Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila.
Sementara itu, menurut sejarahwan Anhar Gonggong, frasa tersebut bermaksud sederhana, seperti yang disampaikan Soekarno sendiri dalam pidatonya: supaya tidak ada egoisme agama.
“Itu yang dia maksud. Cuma menurut saya, ya, memang agak terlalu melenceng pemahaman itu karena untuk apa itu digunakan (dalam RUU HIP) wong sudah diterima Ketuhanan Yang Maha Esa. Ya, selesai, kan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pidato Soekarno 1 Juni 1945 merupakan konsep yang kemudian disempurnakan dan tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4, dan hal itu telah final.
“Kita sudah selesai kok. Lalu kapan kita bekerja dengan baik, kapan kita saling menutupi apa yang pernah kita hadapi ketika kita masih berkelahi sebelum semua apa yang dimiliki, yang dikerjakan oleh pemimpin kita masa lampau, kita sudah warisi seperti sekarang?” tandasnya.