Melawan Virus Korona dengan Transparasi dan Pengujian
Washington — Pandemi virus korona, atau Covid-19, mengajarkan banyak negara pada satu hal; bagaimana merespon penyebaran wabah, dan apa yang harus dilakukan.
Matthew Kavanagh, dalam Transparency and Testing Work Better Than Coercion in Coronavirus Battle, menulis AS belajar dari perbandingan yang salah ketika menghadapi darurat global.
Pekan lalu, Presiden Donald Trump tiba-tiba mengumumkan larangan pelancong dari beberapa negara Eropa, dan memperluasnya sampai ke Inggris dan Irlandia. Larangan ini bertentangan dengan saran WHO dan hukum internasional, karena tidak mungkin mempengaruhi epidemi Covid1-9 di AS.
Bahkan larangan tiba-tiba itu memperburuk keadaan, karena menciptakan kerumunan penumpang di bandara. Pelancong tiba-tiba panik ingin kembali ke rumah, dan bandara tidak siap.
AS rupanya belajar dari Cina, dan negara lain, yang menggunakan pembatasn perjalanan dan pergerakan untuk menghentikan penyebaran virus. Sesuatu yang semula dinilai berhasil, dan pada akhirnya dianggap gagal.
Setelah Presiden Donald Trump menyatakan keadaan darurat, setelah Covid-19 mencapai proporsi pandemi, AS menghadapi momen penting untuk belajar dari tanggapan negara dan implementasi startegi efektif untuk membatasi dampak virus.
Cina melakukan sesuatu yang luar biasa pada akhir Januari 2020, ketika mengunci Wuhan dan kota-kota di Propinsi Hubei, dan menghentikan aktivitas 60 juta penduduk. Orang-orang ‘terpenjara’ di rumah, dan 700 juga orang di seluruh negeri tertahan.
Trump memuji langkah Cina sebagai menunjukan disiplin besar. WHO menetapkannya sebagai standar baru respon terhadap wabah.
Yang terjadi kemudian adalah penurunan cepat dalam jumlah kasus baru terinfeksi dan kematian. Kini, Cina mungkin sedang dalam perjalanan yang benar untuk mengendalikan wabah.
Pertanyaannya, apakah kontrol gaya negara otoriter dapat diterapkan di masyarakat terbuka? Jawabnya singkat saja, sama sekali tidak.
Penguncian Wuhan, dalam studi yang dipublikasikan jurnal Science, tidak benar-benar menghentikan penyebaran virus di Cina. Lockdown terbukti hanya memperlambat antara tiga sampai lima hari.
Yang justru sukses dilakukan Cina adalah menerapkan langkah-langkah kesehatan skala luar biasa, yang belum pernah terjadi sebelumnya; membangun rumah sakit sementara, mengerahkan ribuan petugas kesehatan untuk menyaring orang, mengisolasi korban terjangkit, dan menyediakan perawatan medis.
Tanggapan Korsel
Cina mengajarkan kepada dunia betapa institusi politik yang otoriter sebenarnya berkontribusi pada kegagalan awal. Pemerintah berniat tidak menciptakan kepanikan dengan menahan informasi. Mereka yang memebunyikan alarm diancam, dan arus informasi penting ke pemimpin dan masyarakat diblokir.
Satu hal yang tidak diketahui publik Cina adalah berapa banyak orang yang melarikan diri dari Wuhan, sebelum penguncian. Mereka yang lari secara tidak sadar menjadi penyebar virus ke kota lain.
Korea Selatan (Korsel) menggunakan pendekatan berbeda dengan Cina. Seoul menggunakan transparansi, informasi terbuka, dan penyebaran langkah-langkah kesehatan masyarakat yang didukung teknologi.
Korsel memiliki strategi yang jelas, yang dibangun oleh cabang eksekutif dan dikomunikasikan secara transparan melalui briefing persu dua kali sehari.
Pemerintah berkonsentrasi pada pengujian sejumlah besar orang, dan mengidentifikasi hot spot infeksi. Daego dan Gyeongsam, misalnya, ditetapkan sebagai zona perawatan khusus dan dibanjiri logistik dan staf tambahan.
Pengujian dibuat gratis dan mudah, dengan 50 pusat drive-thru menyediakan pengujian dan pelacakan kontak yang ketat. Alih-alih mengerahkan pasukan di seluruh kota dan mengunci kota, pemerintah mengerahkan aplikasi smartphone yang memungkinkan karantina individu bagi orang-orang yang berhubungan dengan korban terjangkit.
Pemerintah memantau setiap individu, untuk memastikan mereka mengikuti perintah karantina. Wisatawan dari Tiongkok belum dilarang, tapi diminta mengunduh Aplikasi Diagnosis Mandiri, dan mengirimkan hasilnya setiap hari agar petugas tahu kondisi kesehatan mereka.
Kampanye sosial jarak jauh dikerahkan, agar terjadi pembatalan semua pertemuan massal. Tujuan dari semua ini adalah memperlambat penyebaran virus melalui tindakan sukarela, yang membuat orang terpisah.
Pendekatan ini lahir dari konteks politik sangat berbeda. Di Korsel, media melaporkan secara luas. Partai oposisi aktif mengkritik tanggapan pemerintah terhadap virus korona, dan mendorong penguncian Daegu.
Kini, dunia menyaksikan kasus terjangkit di Korsel mulai melambat, dan diharapkan berubah arah. Presiden Moon Jae-in mengatakan Korsel memasuki fase stabilitas.
Korsel mengajarkan kepada kita bahwa pemerintah demokratis dan pendekatan non-koersif efektif melawan wabah virus korona. Namun, itu hanya bisa dilakukan jika demokratisasi kuat dan berakar dalam upaya habis-habisan menerapkan langkah kesehatan masyarakat.
Bagaimana dengan Indonesia?