Sebuah laporan NATO mengatakan Beijing merupakan tantangan bagi negara-negara demokratis, dan NATO harus menghadapi kekuatan yang kian menggeser posisi AS itu
JERNIH– Untuk saat ini Cina bukanlah ancaman militer langsung dalam skala sebesar Rusia. Tetapi ketika bangsa itu terlihat kian memperluas kekuasaan, merentang tangan untuk jangkauan global, dan terus memperbesar ambisinya berkuasa, hal itu menimbulkan tantangan bagi negara-negara terbuka dan demokratis.
Itulah kesimpulan dari sekelompok penasihat independen yang ditugaskan Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, untuk mencari cara memperkuat aliansi transatlantic tersebut.
Penilaian dalam laporan “NATO 2030” itu mencerminkan pergeseran yang lebih besar dan lebih hawkish di Eropa terhadap Cina selama setahun terakhir. Pergeseran ini dipicu oleh berbagai kekhawatiran, dari kemajuan teknologi Cina, lambatnya kemajuan dalam membuka diri terhadap perusahaan asing, hingga pengaruh geopolitiknya di negara berkembang. Sebagian besar politisi Eropa dalam laporan itu dianggap kurang kritis kepada Cina daripada rekan-rekan mereka di AS, terutama selama masa kepresidenan Donald Trump.
Sementara Cina dan Amerika Serikat telah terlibat dalam perang perdagangan dan ketegangan di Laut Cina Selatan selama beberapa tahun terakhir, Eropa telah berfokus pada penyelesaian perbedaan ekonomi dan investasi.
Namun dalam dua tahun terakhir, AS semakin melobi mitra Eropa-nya–banyak di antaranya juga bagian dari NATO– tentang teknologi 5G. Di antara klaim utama AS adalah bahwa pemasok komunikasi terkemuka dunia dari Cina, Huawei Technologies, merupakan risiko keamanan nasional dan ancaman bagi intelijen transatlantik.
Tahun lalu Uni Eropa mulai mengklasifikasikan Cina sebagai saingan sistemik dan para pemimpin NATO— termasuk Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Angela Merkel— menggambarkan Beijing sebagai ancaman.
Pada saat itu masih belum ada indikasi banyak kepentingan militer Eropa di Cina. Tetapi baru-baru ini Menteri Pertahanan Eropa—bagian penting dari NATO– telah mengeluarkan nada lebih tajam, terutama Annegret Kramp-Karrenbauer dari Jerman yang telah menyerukan aliansi transatlantik dengan AS untuk menghadapi Cina.
“Meski ancaman itu belum merupakan ancaman militer langsung, Cina lebih dari sekadar pemain ekonomi,” kata laporan “NATO 2030” yang dirilis Selasa (1/12) lalu.
“Skala kekuatan Cina dan jangkauan global menimbulkan tantangan akut bagi masyarakat terbuka dan demokratis, terutama karena lintasan negara itu menuju otoriterisme yang lebih besar dan perluasan ambisi teritorialnya,” kata laporan itu.
Profesor Luis Simon, seorang ahli NATO dari lembaga pemikir Free University of Brussels dan Elcano Royal Institute, mengatakan laporan itu menyajikan persaingan dengan Cina “bukan dalam istilah kekuasaan telanjang AS vs Cina, tetapi sebagai bagian dari perselisihan … ideologis yang lebih luas, yakni demokrasi vs otokrasi”.
“Kebetulan, ini memungkinkan perpindahan dari Trump ‘AS vs Cina’ ke nada ‘Barat vs Cina’,” kata Simon.
Bagi Beijing, komentar paling mengejutkan dalam laporan NATO adalah referensi bahwa Cina merupakan ancaman yang dihadapi Eropa, menurut seseorang yang memiliki pengetahuan tentang pemikiran delegasi Cina untuk Uni Eropa. Baik UE dan Organisasi Perjanjian Atlantik Utara berkantor pusat di Brussel. Semua anggota NATO, selain dari Amerika Serikat dan Kanada, berada di Eropa.
“Eropa belum menunjuk Cina sebagai ancaman, itu mungkin datang nanti,” kata Antoine Bondaz, seorang spesialis Cina di Foundation for Strategic Research, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Paris. “Tapi yang pasti, Cina menjadi masalah yang memprihatinkan karena kapasitas militer Cina ditampilkan lebih dekat ke Eropa: dari Kutub Utara hingga Laut Mediterania, serta di dunia maya dan luar angkasa.”
Stoltenberg menjabarkan ancaman itu secara blak-blakan dalam sebuah wawancara dengan sebuah surat kabar Jerman pada bulan Juni, dengan mengatakan: “Satu hal yang jelas: Cina semakin dekat ke depan pintu Eropa. Sekutu NATO harus menghadapi tantangan ini bersama.”
Berbicara setelah laporan tersebut diterbitkan, pendahulu Stoltenberg, Anders Fogh Rasmussen, mengatakan kepada South China Morning Post: “Waktunya telah tiba untuk menemukan formula baru mengingat ukuran NATO, rentang operasi yang dilakukan, dan bagaimana teknologi mengubah peperangan modern.
“Dengan Cina memperluas jangkauan militernya, memfitnah investasi strategis dan kampanye disinformasi ke orbit NATO, aliansi perlu menemukan cara baru untuk mengoordinasikan perlindungan dan ketahanan kami.”
Wess Mitchell, yang merupakan pejabat tinggi Departemen Luar Negeri untuk Eropa dari 2017 hingga 2019 dan ikut memimpin kelompok yang menulis laporan setebal 67 halaman itu, mengatakan: “Pesan yang sangat besar adalah bahwa NATO harus menyesuaikan diri untuk era kekuatan besar persaingan yang tidak hanya mencakup Rusia, tetapi juga Cina.”
Untuk itu, UE telah secara aktif mengupayakan hubungan baru dengan AS sejak terpilihnya Joe Biden sebagai presiden AS berikutnya, meskipun fokus kebijakan sejauh ini tertuju pada tantangan non-militer Cina.
Cina telah berusaha untuk mengecilkan risiko yang dikutip oleh NATO. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, meminta aliansi keamanan tersebut untuk memiliki “pemahaman yang tepat” tentang negaranya.
Tapi ada ketegangan antara Cina dan tetangganya yang bisa memperumit “pemahaman” itu.
Konflik militer Cina yang kembali memanas dengan India tahun ini, juga telah berperan dalam memperkuat pandangan Eropa, paling tidak karena itu bertepatan dengan minat diplomatik Uni Eropa yang baru lahir di kawasan Indo-Pasifik, sementara India dipandang sebagai mitra yang berpikiran sama untuk Eropa dalam urusan demokrasi.
Urusan itu berkelindan sedemikian rupa sehingga laporan itu menyarankan NATO untuk menjalin kemitraan dengan India di masa depan. Pada saat yang sama, seluruh 27 pemimpin Uni Eropa telah mengkonfirmasi pertemuan puncak dengan Perdana Menteri India Narendra Modi pada bulan Mei di Porto, saat Portugal mengambil alih kursi kepresidenan Dewan Uni Eropa secara bergilir.
Sementara itu, pertemuan puncak yang direncanakan antara 27 pemimpin Uni Eropa dan Presiden Cina Xi Jinping di kota Leipzig, Jerman, pada September lalu, gagal terjadi.
“Dalam masalah kebijakan luar negeri, permata mahkota kepresidenan Portugis akan mengadakan pertemuan puncak dengan Modi,” kata Perdana Menteri Portugis Antonio Costa, November lalu. “Ini adalah pertemuan yang saya anggap paling penting bagi Eropa untuk menekankan pentingnya hubungan dengan seluruh kawasan Indo-Pasifik.” [South China Morning Post]