PBB: Myanmar Terancam Perang Saudara Skala Besar
- Hampir di setiap negara bagian terbentuk pasukan perlawanan lokal.
- USDP, parti pro-militer, dan NLD terlibat saling culik dan bunuh.
JERNIH — Christine Schraner Burgener, utusan PBB untuk Myanmar, mengatakan risiko perang saudara skala besar di negeri yang dulu bernama Burma adalah nyata menyusul kudeta militer 1 Februari 2021.
Berbicara di depan 193 anggota Majelis Umum setelah PBB mengadopsi resolusi yang menyeru penghentian aliran senjata ke Myanmar, Schraner Burgener mengatakan; “Waktu sangat penting dan kesempatan membalikan pengambilalihan militer semakin sempit.”
Sehari sebelumnya, atau Jumat 18 Juni, sebuah truk militer meledak di depan kantor Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang pro-militer. Beberapa menit setelah ledakan itu, muncul ledakan lain di Yangon.
Win Thu, wakil ketua Komite Penyelamatan Yangon, mengatakan ledakan pertama menewakan satu tentara, ledakan kedua menewaskan seorang penumpang di dalam teksi.
“Kami tidak tahu siapa yang melakukan,” kata Win Thu. “Kami hanya mengambil korban luka dan tewas dengan ambulan kami. Kami mengirim yang terluka ke rumah sakit.”
Yangon Urban Guerilla Group mengaku bertanggung jawab atas dua ledakan itu. Tidak ada informasi soal kelompok ini. Asumsi sementara menyebutkan kelompok ini adalah perlawanan lokal perkotaan.
Serangan bom di kota-kota kecil di sekujur Myanmar kini menjadi lebih umum, karena militer berjuang menegakan kekuasaannya setelah kudeta 1 Februari yang menggulingkan pemerintahan terpilih.
Simbol kekuasaan militer menjadi target serangan, dan anggota partai politik pro dan anti-militer terlibat saling culik dan bunuh. Di wilayah yang dikuasai kelompok etnis bersenjata, militer makin brutal dengan terus menekan penduduk.
Hampir di semua negara bagian di Myanmar terbentuk kelompok perlawanan lokal. Penduduk mempersenjatai diri dengan senapan rakitan dan senjata berburu untuk menghadapi Tatmadaw.
Militer mencopot pejabat lokal pro-NLD dan menunjuk orang-orang dari USDP. Tindakan ini memicu konflik horisontal yang meluas, dengan orang-orang USDP menjadi target pembunuhan. Di sisi lain, militer juga menargetkan orang-orang NLD untuk dihabisi.