Pemberhentian Helmy Yahya Hak Dewas TVRI, Menteri Kominfo Serahkan ke DPR RI
JAKARTA – Pemberhentian Helmy Yahya dari jabatan Direktur Utama TVRI berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pengawas LPP TVRI bernomor 8/Dewas/TVRI/2020 tertanggal 16 Januari 2020, sangat disesalkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Johnny G. Plate.
Dijelaskan Johnny, pihaknya tak bisa berbuat banyak, sebab Kemenkominfo hanya berperan sebagai mediator. Hal itu berdasarkan Undang-undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005.
“Kominfo dalam hal ini sesuai amanat undang-undang hanya bisa merekomendasikan dan mediasi. Mediasi bisa berjalan apabila para pihak bertemu di satu titik kesempatan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
“Memberhentikan direksi TVRI menjadi bagian dari kewenangan Dewas TVRI, bukan kewenangan Menkominfo,” Johnny menambahkan.
Oleh karena itu, Johnny menyerahkan perseteruan tersebut kepada Komisi I DPR RI untuk menyelesaikan. Sebab menurutnya, legislatif-lah yang memiliki peran untuk menuntaskan.
“Dominan untuk penyelesaian menurut undang-undang adalah Komisi I DPR, karena Dewas diangkat melalui mekanisme dan proses dari Komisi I,” katanya.
Johnny mengaku telah mendapat salinan surat pemberhentian Helmy Yahya dari Dewas TVRI, meski surat tersebut secara resmi tidak ditebuskan ke Kominfo. Padahal beberapa waktu lalu, ia sudah mengadakan beberapa pertemuan baik dengan Helmy Yahya maupun Dewas TVRI.
“Kami sudah berusaha mediasi dan berharap bisa diselesaikan dengan baik secara internal. Tapi alhasil mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, kita harus menghormati semua kewenangan yang ada,” ujar dia.
Oleh karena itu, Johnny meminta agar para pegawai yang telah semangat dalam bekerja, tidak terpengaruh atas konflik Helmy dengan Dewas TVRI.
“Para pegawai harus tetap bersemangat dalam bekerja,” kata dia.
Sebelumnya, Dewas TVRI membeberkan beberapa alasan mengeluarkan Surat Pemberhentian terhadap Helmy Yahya. Salah satunya Helmy tak menjelaskan pembelian hak siar Liga Inggris yang menelan biaya besar.
“Saudara tidak menjawab atau memberi penjelasan mengenai pembelian program siaran berbiaya besar antara lain Liga Inggris dari pelaksanaan tertib administrasi anggaran TVRI,” isi poin pertama dalam surat pemberhentian itu.
Kemudian pada poin kedua, Dewas TVRI menjelaskan, akibat dari ketidaksesuaian pelaksanaan Rebranding TVRI dengan rencana kerja yang ditetapkan, mengakibatkan honor Satuan Kerja Karyawan (SKK) tidak terbayar tepat waktu. Bahkan kegiatan produksi siaran tidak dapat mencapai taget, dikarenakan tidak tersedia lagi anggaran untuk kegiatan produksi.
Ketiga, ada ketidaksesuaian antara jawaban Helmy Yahya dalam surat 17 Desember 2019. Antara lain LHP BPK menilai ada program belum sesuai ketentuan dan adanya mutasi pejabat struktural yang tak sesuai aturan manajemen ASN.
Lalu dipoin empat, Helmy Yahya melanggar beberapa asas UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni asas ketidakberpihakan, kecermatan dan keterbukaan.
“Terutama bekenaan penunjukan atau pengadaan kuis siapa berani,” bunyi poin empat.
Menurut Dewas TVRI, pembelaan diri Helmy Yahya tak meyakinkan. Inkoordinasi terhadap kebijakan Dewas LPP TVRI serta pengabaian keputusan dan tindakan tak bakal terjadi di masa yang akan datang.
“Saudara (Helmy) bahkan kembali mengajukan yang dinilai sebagai fakta, namun tanpa bukti, dengan penyesatan informasi,” poin lima.
Sebelum mengeluarkan putusan, Dewas TVRI juga mempertimbangkan pembelaan diri Helmy Yahya melalui surat yang dikirimkan pada 17 Desember 2019 lalu. [Fan]