Crispy

Permintaan PGI untuk Revisi Buku Pelajaran Agama Islam Justru Dinilai Intoleran

Nurbani lantas membandingkan dengan ajaran Yahudi, Kristen, dan Katolik, yang sama-sama menganggap Muhammad SAW bukanlah seorang nabi, dan Islam pun bukan agama samawi terakhir yang diturunkan Tuhan.  “Kami pun tidak tersinggung dan tidak harus menuntut mereka untuk merevisi isi khotbah gereja dan buku pelajaran agama tentang Islam yang mereka pahami,”kata dia.

JERNIH—Peneliti Universitas Muhammadiyah Malang, Nurbani Yusuf, menilai permintaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) kepada Kementerian Agama Agama untuk merevisi buku “Pelajaran Agama Islam dan Budi Pekerti” bagi siswa kelas 8 SMP dan kelas 11 SMA yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Tahun 2014, justru sebuah kemunduran dan sikap intoleran.

Menurut Nurbani, cara tersebut bahkan bukanlah bentuk  toleransi, melainkan intimidasi teologis atas nama toleransi. Nurbani mengatakan, itulah intoleransi yang sesungguhnya dan membahayakan stabilitas politik dan bergama.

Nurbani lantas membandingkan dengan ajaran Yahudi, Kristen, dan Katolik, yang sama-sama menganggap Muhammad SAW bukanlah seorang nabi, dan Islam pun bukan agama samawi terakhir yang diturunkan Tuhan.  

“Kami pun tidak tersinggung dan tidak harus menuntut mereka untuk merevisi isi khotbah gereja dan buku pelajaran agama tentang Islam yang mereka pahami,”kata Nurbani.

Bagi Nurbani, masih-masing agama punya daulat yang tidak boleh diintervensi agama lain dengan alasan apa pun. “Ini soal iman yang tidak bisa dibatalkan oleh apa pun, termasuk alasan toleransi atau ketersinggungan umat lainnya,” kata Nurbani. Ia justru meyakini akan timbulnya kekacauan bila agama saling merevisi atas nama toleransi. “Kebebasan beragama memang harus ditata, tapi bukan saling merevisi ajaran iman,”kata dia, tegas.

Lebih lanjut, kata dia, surat PGI yang ditujukan kepada Kemenag dan meminta Kemenag untuk memperbaiki pelajaran agama Islam terhadap bibel atau Injil adalah praktik intoleran. “Kadang ada yang kebablasan dalam menilai agama lain. Saatnya bijak dalam beragama, bukan sebaliknya. Ada batas etika di mana kita harus patuh bersama,”kata dia.

Beberapa waktu lalu PGI memang melayangkan surat kepada Menag dan meminta untuk mengkaji ulanng buku tersebut.

“Terkait dengan ini, Sekum PGI telah menyampaikan ke Menteri Agama beserta dengan copy pdf buku-buku tersebut. Oleh Menag sudah diinstruksikan ke stafnya untuk segera berkoordinasi dengan pihak Kemendikbud untuk mengkaji materi dari buku-buku ini bila ternyata masih digunakan,” kata Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom dalam berita di situs PGI, PGI.or.id.

Dalam berita internal tersebut PGI menilai, negara lewat pendidikan yang dijalankan Kemendikbud tidak perlu memasuki ranah teologi. Negara cukup mendasarkan pada konstitusi dan tafsir hukumnya saja. “Di tengah upaya kita membangun kerukunan, memang hal-hal seperti pelajaran agama ini menjadi ganjalan serius. Antara agama Kristen dan Islam memang terdapat titik temu dan titik tengkar yang cukup banyak, dan kalau tidak hati-hati mengelolanya bisa membuyarkan usaha menuju kerukunan tersebut,” kata Pendeta Gomar.

Namun demikian, kepada internal warga pemeluk Kristen, Gomar juga meminta buku itu tidak disikapi secara berlebihan. Soalnya, buku itu memang merupakan mata pelajaran agama Islam.

“Ini adalah mata pelajaran agama Islam. Dan tentu saja isinya adalah pemahaman dan ajaran Islam, termasuk mengenai agama Kristen dan Injil. Lalu bagaimana kita menanggapinya? Ya, tidak perlu ditanggapi. Tugas kita adalah memberikan informasi autentik tentang ajaran Kristen kepada murid-murid Kristen, bukan menggugat isi pengajaran agama yang lain,” kata Gomar.

Namun entah bagaimana, yang terjadi justru ada surat yang melayang kepada Menag, dengan permintaan untuk ‘merevisi’ buku tersebut.

Pendeta Gomar juga berharap pelajaran agama di sekolah lebih mengutamakan pelajaran budi pekerti dan nilai universal dari agama. Soalnya, pelajaran agama yang dogmatis bisa menciptakan segregasi dan permusuhan. Pendidikan agama dalam bentuk dogma sebaiknya tidak dilakukan di sekolah.

“Pendidikan agama dalam bentuk ajaran/dogma sebaiknya dilakukan di ruang privat (keluarga dan rumah ibadah) dan tidak di sekolah. Ini menjadi PR Menteri Agama dan Menteri Pendidikan untuk membenahinya,” kata Gomar. [  ]

Back to top button