PGI Desak SKB Dua Menteri direvisi Untuk Kemudahan Ibadah

JAKARTA-Merasa surat keterangan bersama (SKB) dua menteri saat ini belum memfasilitasi kemudahan beribadah, maka Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta SKB dua menteri mengenai pendirian tempat ibadah dievaluasi kembali keberadaannya serta direvisi untuk menyesuaikan kebutuhan saat ini
Menanggapi desakan PGI
tersebut, Wakil Ketua Komisi VIII, Ace Hasan Syadzily, mengingatkan bahwa
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya negara memberi
kebebasan beragama dan tiap pemeluk juga dilindungi negara.
“Saya kira kita harus memegang prinsip bahwa negara harus memberikan
kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan memberikan perlindungan untuk
beribadah kepada para pemeluknya. Itu prinsip dasar yang dilindungi dalam
konstitusi kita,” kata Ace, Jumat (14/2/2020).
Baca juga: Jokowi Perintahkan Kapolri dan Menhan Tangani Masalah Karimun dan Minahasa
Ace juga mengingatkan kembali tentang harmoni dan toleransi yang
ada dalam masyarakat hendaknya menjadi komitmen seluruh warga negara dan wajib
diwujudkan semua pihak. Realisasi dari komitment tersebut adalah, semua pihak
harus menghargai dan menghormati agama dan keyakinan orang lain.
“Tidak boleh ada pihak manapun yang
menghalangi hak untuk beribadah sesuai dengan keyakinan agamanya. Itu merupakan
hak yang dijamin konstitusi kita,” kata pengurus partai Golkar tersebut.
Adapun SKB dua menteri yang dimaksud PGI adalah
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No
8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Baca juga: FUIB Karimun Tuntut Bupati Cabut Kembali IMB Pembangunan Gereja
PGI bahkan mengusulkan agar SKB dua Menteri tersebut hendaknya
direvisi karena dirasa masih ada kesulitan dalam mendirikan rumah ibadah. Hal tersebut,
menurut PGI, terkait dengan sistem proporsional dalam pendirian tempat ibadah.
PGI menilai sistem proporsional dengan
mengedepankan voting dibanding musyawarah telah menghilangkan spirit bangsa
kita untuk musyawarah.
Ace nampaknya sepakat dengan pendekatan proporsional dan musyawarah
antara masyarakat di lingkungannya.
“Pendekatan kuantitatif berpotensi selalu
melahirkan siapa yang banyak akan lebih mendominasi dari pada yang sedikit.
Padahal, dalam soal kehidupan keagamaan, kita harus berangkat dari prinsip
dasar sebagaimana yang diatur konstitusi kita bahwa semua memiliki hak sama
sebagai warga negara,”.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan SKB dua menteri nomor 8-9/2006,
pendirian rumah ibadah wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis bangunan gedung. Selain itu, harus memenuhi persyaratan khusus, meliputi:
1. Daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat
paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah;
2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa;
3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama
kabupaten/kota.
(tvl)