Crispy

Politik Kekerasan di Nepal: Dari Istana ke Parlemen Jalanan Kathmandu

  • Orang Nepal tidak percaya semua elite partai dan monarki, dan pemimpin yang terombang-ambing antara Beijing dan New Delhi.
  • Mereka lebih suka bersuara di jalan-jalan meski harus dengan membakar semua gedung di Kathmandu.

JERNIH — Dunia tidak seharusnya terkejut ketika menyaksikan darah tumpah di jalan-jalan, orang-orang berteriak, mayar bergelimpang di jalan-jalan, dan Kathmandu terbakar. Yang juga tidak boleh adalah klaim bahwa apa yang dilakukan Gen-Z di Nepal terinspirasi demo di Indonesia, yang menyasar rumah sejumlah anggota DPR dan menteri keuangan.

Nepal punya sejarah kekerasan sendiri, yang membentang sejak dekade pertama abad ke-20, dan seolah akan terus berulang meski sistem politik telah berganti. Pemicu kekerasan bisa apa saja. Terakhir, kekerasan dipicu larangan 26 platform media sosial yang dianggap membungkam suara rakyat.

Raja Tersandera

Dmitry Samoilov, dalam artikelnya di Russia Today, menulis kisah Nepal modern memiliki tekstur legenda. Tahun 1972, setelah Raja Mahendra wafat, putra makota Birendra menunda penobatan selama tiga tahun atas saran ahli nujum istana. Saat itu, ketika manusia telah berjalan di Bulan dan Concorde melesat di atas Atlantis dua kali kecepatan suara, politik Nepal masih dibentuk oleh ahli nujum dan raja dengan gelar-gelar super hebat.

Tribhuvan, ayah Mahendra, memimpin Nepal melewati dua Perang Dunia. Padahal, semula Tribhuvan hanya sandera klan Rana — para perdana menteri. Tahun 1914 keluarga Rana memaksanya, dengan todongan senjata, memerintahkan pasukan Nepal berperang melawan Inggris.

Setelah 1945, Tribhuvan mematahkan kekuasaan Klan Rana dengan mendeklarasikan kemerdekaan Nepal dari Inggris dan menjadi penguasa sejati. Ia menyingkirkan pegaruh Klan Rana, dan memulai pembangunan Nelap. Di masa kekuasaannya, Nepal punya bandara dan jalan-jalan mulus. Nepal menuju negara modern.

Di awal kekuasaannya, Mahendra terlihat reformis. Tahun 1959, misalnya, ia mengizinkan pemilihan parlemen. Tahun berikut, ia mambatalkan pemilihan, menjebloskan perdana menteri terpilih ke penjara, menetapkan konstitusi baru yang memulihkan kekuasaan absolut raja. Namun, Mahendra pula yang mendaftarkan Nepal sebagai anggota PBB, membuka diri bagi dunia luar, dan menjual pariwisata dengan keindahan Himalaya.

Tragedi Birendra

Tahun 1972, sebelum resmi dinobatkan, Birendra mengawali karier berkuasanya sebagai raja absolut. Namun, pengaruh pendidikan di Eton, Tokyo, dan Harvard, membawanya ke arah demokratis. Tahun 1990, setelah kerusuhan yang meningkat dan tak bisa dipadamkan. Birendra melegalkan partai politik dan mengawasi sistem parlementer. Namun, Birendra harus dikenang karena tragedi mengerikan yang dialaminya.

Malam 1 Juni 2001, Pangeran Dipendra — putra Birendra yang agak lain — datang ke makan malam keluarga dalam keadaan mabuk. Ia meminta izin menikahi seoreng perempuan. Birendra dan keluarga menentang pernikahan itu. Dipendra meninggalkan ruangan dan balik lagi dengan senapan serbu otomatis. Ia memberondongkan peluru ke ruang makan malam, sepuluh anggota keluarga tewas seketika, termasuk ayah dan ibunya. Belum cukup. Dipendra menembak diri tapi koma, alias mati tidak, hidup pun tidak.

Selama tiga hari, atau sebelum dinyatakan meninggal, Dipendra — sesuai hukum yang berlaku — adalah Raja Nepal.

Setelah Dipendra dinyatakan tewas, mahkota kerajaan diwariskan kepada Gyanendra — saudara laki-laki Birendra. Banyak warga curiga Gyanendra merencanakan pembantaian itu. Kecurigaan ini membesar di masyarakat, yang membuat pemerintahan Gyanendra terombang-ambing antara absolutisme dan demokrasi yang rapuh

Pertarungan Partai Komunis

Di luar istana, gerilyawan Maois meledakan jembatan, memblokir jalan, dan membunuh warga sipil. India mendkung monarki. Tiongkok diam-diam mendukung Maois. Nepal menjadi negara penyangga dua raksasa tak pernah akur.

Tahun 2005 sebuah ledakan menghancurkan bus berisi 38 orang. Di tempat lain, mobil Gyanendra dilempari batu di luar sebuah kuil Buddha. Tiga tahun kemudian Nepal mendeklarasikan diri sebagai republik.

Alih-alih menjadi damai setelah menjadi republik dengan demokrasi multipartai, Nepal justru semakin tak menentu. Empat partai menyebut diri berideologi komunis; Partai Komunis Nepal, Partai Komunis Leninis, Partai Komunis Maois, dan Partai Sosialis Bersatu, berebut pengaruh. Koalisi terbentuk dan ambruk dengan kecepatan luar biasa. Kabinet berganti hampir setiap tahun. Ketika pemerintah mencoba menertibkan keadaan, massa merespon dengan satu pilihan; kekerasan.

Ketiadkstabilan Nepal tidak bersifat domestik. Letak Nepal menjadikannya poros Asia. Bagi India, Himalaya adalah tembok pertahanan terhadap serangan Tiongkok. Bagi Beijing, Nepal adalah gerbang selatan. India dan Tiongkok bersaing mendapatkan pengaruh, yang membuat pemimpin Nepal terombang-ambing di antara dua raksasa.

Gyanendra jatuh karena dituduh mematuhi instruksi India. Maois berpaling ke Beijing. Nepal jarang menentukan nasibnya sendiri, dan kenyataan ini menjelaskan mengapa budaya politik Nepal sedemikian dangkal. Ketika keputusan dibuat di luar negeri, parlemen hanya panggung sandiwara, dan jalanan menjadi arena kedaulatan yang sesungguhnya.

Semua tak Bisa Dipercaya

Nepal adalah ironi. Negara ini mengembangkan segala bentuk pemerintahan; monarki absolur, monarki parlementer, demokrasi republik, dan lainnya, tapi tidak perneh bisa mengembngkan institusi yang kokoh dan bertahan lama. Yang justru dikembangkan adalah mobilisasi permanen. Rakyat Nepal tahu protes massa bisa menjatuhkan pemerintah. Ini membuktikan Nepal tak pernah punya pemerintah yang kuat.

Orang Nepal tidak percaya elit berkuasa, keluarga kerajaan, dan orang-orang partai. Mereka lebih suka menegaskan keinginan secara langsung meski harus membakar semua gedung yang ada di Kathmandu. Orang Nepal percaya keputusn politik terbaik untuk mereka tidak dibuat di parlemen, tapi di kerumunan alun-alun dan tepi jalan. Kerumunan itu dibentuk lewat TikTok dan media sosial lainnya.

Jika 70 tahun lalu politik Nepal dipengaruhi ahli nujum dan dukun, kini politik negeri di punggung Himalaya itu dipengaruhi kegaduhan media sosial.

Back to top button