
- Keputusan ini memicu kritik keras dari dalam militer Israel sendiri. Sejumlah perwira senior menyebut ide ini sebagai gagasan gila yang tidak memiliki nilai militer jelas.
- Bagi para prajurit di lapangan, misi ini dianggap sebagai salah satu tugas paling berbahaya yang pernah mereka lakukan.
JERNIH – Di tengah penderitaan yang tak berkesudahan, sebuah taktik perang psikologis yang kontroversial dilakukan zionis Israel. Militer Israel, atas perintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, berencana menyiarkan pidatonya di Majelis Umum PBB melalui pengeras suara yang ditempatkan di depan rumah-rumah warga Palestina di Jalur Gaza.
Langkah ini, yang dikonfirmasi oleh laporan surat kabar Israel Yedioth Ahronoth dan Haaretz, menjadi bentuk eskalasi baru dalam konflik, di mana propaganda digunakan sebagai senjata. Beberapa truk dengan pengeras suara berukuran besar telah siap digunakan. Penggunaan pengeras suara besar menggunakan truk ini, dalam bentuk dan fungsi yang berbeda, tengah menjadi trend di beberapa daerah di Indonesia yang digunakan sebagai sarana hiburan dengan istilah sound horeg.
Militer Israel, khususnya Komando Selatan, telah menyusun instruksi untuk menyiarkan pidato tersebut menggunakan pengeras suara yang dipasang di truk dan di dekat tembok pembatas. Seorang sumber militer Israel menggambarkan operasi ini sebagai “perang psikologis.”
Namun, di balik narasi resmi, keputusan ini memicu kritik keras dari dalam militer sendiri. Sejumlah perwira senior menyebut ide ini sebagai gagasan gila yang tidak memiliki nilai militer yang jelas.
Misi Berbahaya di Tengah Ancaman Kemanusiaan
Bagi para prajurit di lapangan, misi ini dianggap sebagai salah satu tugas paling berbahaya yang pernah mereka lakukan. Seorang tentara Israel yang beroperasi di dekat Gaza mengungkapkan bahwa tujuan sebenarnya dari misi ini tidak dijelaskan kepada mereka.
Sementara itu, pidato yang akan disiarkan Netanyahu bertujuan untuk mengutuk negara-negara yang mengakui negara Palestina. Ia akan menuduh mereka “menghadiahkan pembunuh” dengan mendukung sebuah negara di tempat yang ia anggap sebagai jantung Israel, dan menegaskan bahwa hal ini tidak akan pernah diizinkan terjadi.
Langkah propaganda ini terjadi saat perang di Gaza terus merenggut nyawa. Sejak 7 Oktober 2023, jumlah korban tewas di Gaza telah mencapai hampir 66.000 jiwa, dengan lebih dari 167.000 orang terluka. Pada 25 September saja, rumah sakit di Gaza melaporkan 83 kematian dan 216 luka-luka dalam 24 jam terakhir.
Sejak gencatan senjata runtuh pada 18 Maret 2025, serangan Israel telah menewaskan hampir 13.000 warga Palestina. Ironisnya, di tengah krisis kemanusiaan yang parah, pasukan Israel terus menyerang lokasi distribusi bantuan, menyebabkan ratusan korban tewas dan luka-luka.
Aksi ini menunjukkan betapa kompleks dan kejamnya konflik yang tidak hanya melibatkan kekuatan militer, tetapi juga taktik-taktik non-konvensional yang menargetkan mentalitas dan ketahanan penduduk sipil.






