Putusan MK atas UU Cipta Kerja Dinilai Ambigu
“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja”
JAKARTA – Putusan uji materi (judicial review) Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu tentang Undang-Undang Cipta Kerja dinilai penuh ambiguitas.
Denny Indrayana yang merupakan Wakil Menteri Hukum dan HAM di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengatakan putusan uji materi UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, menimbulkan kesan tidak konsisten, ketidakpastian hukum, bahkan menjadi sumber munculnya perselisihan.
“Seperti dalam banyak putusan yang coba mengakomodir berbagai kepentingan dan berusaha mencari jalan tengah,” ujarnya, ditulis Republika, Minggu (28/11/2021).
Menurut dia, ada lima ambiguitas dalam putusan MK atas uji materi UU Cipta Kerja tersebut, di antaranya pertama MK menyatakan dengan tegas bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Namun, masih memberi waktu berlaku selama 2 tahun, dengan alasan sudah banyak aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan.
“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja,” kata dia.
Kedua, berhubungan dengan putusan-putusan yang bersamaan dikeluarkan MK tentang UU Cipta Kerja pada 25 November 2021. Dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan 10 di antaranya kehilangan objek karena Putusan MK Nomor 91 sudah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
“Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Cipta Kerja maksimal selama 2 tahun,” katanya.
Ketiga, MK menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku. Namun, 10 putusan MK yang lain terkait UU yang sama menyatakan permohonan tidak diterima. Karena itu, dirinya mempertanyakan, dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materil, apakah putusan MK telah menjadi dasar terjadinya impunitas konstitusi bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD 1945.
“Bagaimana mungkin suatu putusan yang masih berlaku tidak boleh diuji isinya?” ujar dia.
Kemudian, ambiguitas keempat, putusan uji materi MK terhadap UU Cipta kerja menimbulkan multitafsir. Dimana dua pendapat yang muncul, pertama kubu yang berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Sedang kubu lainnya berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali.
Kelima, putusan MK soal Cipta Kerja dinilai sangat ketat menerapkan formalitas pembuatan UU, termasuk mengkiritisi minimnya ruang partisipasi publik. Namun, MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat.
“Seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itu pun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujarnya.