Raisa feat. Rony Parulian dalam Tetap Bukan Kamu: Lagu tentang Cinta yang Tak Bisa Diganti, Hanya Dipelajari

oleh ; IRZI Risfandi
“Jangan berpikir tuk kembali, namun ke arahmu ku ingin berlari.”
Lirik ini adalah jantung dari lagu “Tetap Bukan Kamu”—sebuah kalimat yang tampak sederhana, tapi menyimpan kontradiksi paling manusiawi dalam cinta: tahu bahwa tidak boleh, tapi tetap ingin. Ada jutaan kata yang bisa dipilih untuk menggambarkan rindu yang tak lagi punya rumah, tapi bait ini menyampaikan semuanya dengan tenang—dan justru karena itu, terasa jauh lebih menghantam. Lagu ini bukan tentang cinta yang kandas karena pertengkaran atau pengkhianatan, tapi tentang dua orang yang saling menyayangi, namun tetap harus berpisah. Perasaan yang tak pernah ketinggalan zaman, apalagi di era sekarang ketika orang begitu sering terlihat move on di luar, tapi masih menyimpan seseorang di dalam.
Lagu ini dibuka dengan sapaan yang sudah hampir jadi semacam puisi patah hati universal: “Apa kabarmu?” Kalimat yang sering terasa ringan jika diucapkan ke orang asing, tapi bisa berubah jadi palu godam emosional kalau ditujukan pada mantan yang belum benar-benar bisa dilupakan. Di lagu ini, pertanyaan itu bukan basa-basi. Ia adalah jendela kecil yang dibuka ke masa lalu. “Kabarku baik saja,” kata si aku lirik—sebuah kalimat yang mungkin sudah terlalu sering diucapkan, tapi jarang benar-benar dimaksudkan. Karena di balik itu, tersimpan banyak usaha untuk terlihat kuat, walau hati sesungguhnya belum selesai.
Yang membuat “Tetap Bukan Kamu” begitu menyentuh adalah caranya merangkul kejujuran dengan lembut. Lagu ini tidak berteriak, tidak menyalahkan, tidak mengemis cinta kembali. Ia hadir sebagai pengakuan lirih bahwa cinta yang pernah ada, walau sudah lama usai, belum benar-benar bisa digantikan. “Mencoba jalani sendiri, yakinkan diriku, mencari pengganti tak berarti.” Siapa pun yang pernah pura-pura baik-baik saja di depan orang baru, padahal masih membandingkan semua hal dengan seseorang dari masa lalu, akan merasa diwakili oleh kalimat ini.
Ada semacam kedewasaan yang diam-diam menyelinap di sepanjang lagu. Tidak ada tuntutan, hanya penerimaan. “Jangan berpikir tuk kembali,” kata si aku, karena ia tahu: cinta saja tidak cukup untuk membawa dua orang kembali ke titik yang sudah hilang. Tapi meski begitu, keinginannya tetap ingin berlari ke arah yang sama. Ini bukan sekadar patah hati. Ini adalah perasaan yang sudah mencoba logis, tapi tetap kalah oleh kenangan. Lagu ini menggambarkan kondisi batin yang sangat relevan bagi generasi sekarang—yang sering harus terlihat “baik-baik saja” di luar, tapi menyimpan sisa luka di layar kunci ponsel dan folder foto lama.
Musik yang membungkus lirik ini pun tidak mencoba mencuri perhatian. Ia justru menenangkan. Dengan progresi akor yang lembut dan vokal Raisa yang nyaris seperti bisikan, serta harmoni dari Rony Parulian yang terasa empatik, lagu ini menjadi seperti teman yang duduk di sampingmu diam-diam—tidak banyak bicara, tapi tahu persis apa yang kamu rasakan. Tidak ada klimaks bombastis, tidak ada beat dramatis. Justru dalam keheningan aransemen itulah, rasa patah yang tenang jadi semakin terasa nyata.
Salah satu baris yang paling kuat adalah: “Siapa pun yang hampiri, tetap bukan kamu.” Dalam satu kalimat itu, tergambar dengan sangat jelas betapa rumitnya proses menerima kehilangan. Bukan karena kita belum mencoba membuka hati. Bukan karena tidak ada orang lain yang datang. Tapi karena ada sesuatu yang tidak bisa ditiru: cara seseorang membuat kita merasa dilihat, dimengerti, dan dicintai. Lagu ini bukan soal mempertahankan masa lalu, melainkan soal mengakui bahwa tidak semua hal bisa digantikan hanya karena harus.
Dan inilah yang membuat “Tetap Bukan Kamu” terasa sangat manusiawi: ia tidak menyederhanakan luka, tapi juga tidak meromantisasi penderitaan. Ia hanya jujur. Lagu ini mengajarkan bahwa move on bukan tentang menemukan pengganti, tapi tentang belajar menerima bahwa seseorang pernah begitu berarti, dan tetap akan menjadi bagian dari kita, meskipun tidak lagi hadir.
Di akhir lagu, ketika liriknya menutup dengan pengakuan paling telanjang—“ke mana pun ku mencari, tetap bukan kamu”—pendengar dibawa ke titik hening. Bukan kesedihan yang meronta, tapi kesedihan yang pasrah. Kita belajar bahwa cinta yang besar tidak selalu harus dimiliki. Kadang, cukup dikenang. Tidak semua yang kita cintai harus kita genggam terus-menerus. Kadang, cukup kita biarkan tinggal di tempatnya, sebagai satu halaman yang tidak akan dibuka lagi, tapi juga takkan pernah dilupakan.
“Tetap Bukan Kamu” bukan lagu tentang merayu masa lalu untuk kembali. Ia adalah lagu tentang menunduk, menghela napas, dan melangkah lagi—meski langkah itu masih membawa bayangan seseorang yang dulu pernah kita panggil rumah. Lagu ini bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk menemani. Ia tidak memaksa kita cepat-cepat baik-baik saja, tapi mengizinkan kita untuk mengakui bahwa “aku belum selesai, dan itu tidak apa-apa.”
Dalam dunia yang penuh dengan tuntutan untuk cepat pulih, “Tetap Bukan Kamu” hadir sebagai jeda. Sebuah ruang untuk kita mengaku: bahwa ada orang-orang yang tidak akan tergantikan, bahwa ada luka yang tidak butuh penjelasan, hanya penerimaan. Dan ada cinta yang tak akan kembali—tapi akan terus tinggal, di sudut hati yang tak pernah benar-benar ingin dibersihkan.
2025